Mengenai Wacana Full Day School dan Sistem Pesantren
KBAA -- Jauh sebelum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menggelontor ide full day school, banyak sekolah swasta sudah menerapkan. Bahkan di pesantren, mengenyam pendidikan mulai bangun dari peraduan hingga kembali menutup mata.
SATU jam sebelum azan subuh, Agri Almaedah sudah terjaga. Bersama puluhan santriwati lain, tiap dini hari mereka memulai “kehidupan” di Pondok Pesantren Nabil Husein Samarinda. Diawali salat Subuh berjamaah, dilanjutkan mengaji, serta mengikuti pelajaran ringan sampai mentari menyapa.
Setelah menyelesaikan kegiatan pagi itu, Agri dan kawan-kawannya membersihkan diri. Tidak lupa sarapan, sebelum mengikuti pelajaran formal di sekolah. Jadwal masuk sekolah formal, dimulai pukul 7.30 - 15.00. Hanya ada jeda 1-2 jam untuk beristirahat dan salat Asar, Agri kembali mengikuti pelajaran agama hingga pukul 22.00.
“Semua aktivitas itu sudah dijalani selama kurang lebih enam tahun. Sejak lulus SD, sampai sekarang kelas XII, ucapnya kepada Kaltim Post, Selasa (9/8).
Stres? Agri menjawab tidak. Dia menjalani kepadatan jadwal belajar di pesantren dengan santai. Sebaliknya, ketika ada waktu belajar yang kosong karena guru atau ustaz berhalangan tak jarang membuat gadis asal Muara Wahau, Kutai Timur, itu kebingungan.
“Menurut saya, kegiatan sehari penuh di sekolah atau pesantren itu sangat bermanfaat. Saya masih bisa beristirahat, berkumpul, dan bermain dengan teman-teman di tengah kegiatan yang terjadwal itu. Jadi, happy saja, enggak stres,” ucap perempuan 16 tahun itu.
Senada diungkapkan Shinta Tri Choirunnisa dan Aulia Oktavia. Mereka mengaku tidak tertekan dengan jadwal pelajaran dan kegiatan yang full. Awalnya, saat pertama kali masuk pesantren memang kaget. Karena sistem pendidikan yang berbeda dengan sekolah umum.
“Tapi, lama-lama terbiasa. Lebih menyenangkan lagi, kegiatan yang padat di sekolah dan pesantren membuat saya bisa lebih dekat dengan teman. Karena sosialisasinya lebih jalan,” ucap Shinta yang sudah empat tahun tinggal di pondok. Shinta dan Aulia merupakan siswi SMA kelas XI.
Dibandingkan dengan rencana penerapan sekolah seharian alias full day school untuk sekolah umum, kegiatan Agri dan santriwati lainnya, tampak lebih padat. Karena itu memang bukan hal asing lagi hampir di seluruh pondok pesantren.
Menanggapi rencana penerapan sekolah seharian oleh Mendikbud Muhadjir Effendy, Sekretaris Pesantren Nabil Husein, Samarinda, Abdul Gafur mengatakan, program tersebut dasarnya memang bagus. Karena dapat membimbing anak-anak, mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat.
“Tetapi, keputusan juga perlu dikembalikan kepada anak. Karena secara psikis, anak tidak bisa terus-terusan disuruh belajar. Sesuaikan dengan kondisi anak, agar dapat menerima kegiatan yang padat itu,” ucap Gafur. (More)
SATU jam sebelum azan subuh, Agri Almaedah sudah terjaga. Bersama puluhan santriwati lain, tiap dini hari mereka memulai “kehidupan” di Pondok Pesantren Nabil Husein Samarinda. Diawali salat Subuh berjamaah, dilanjutkan mengaji, serta mengikuti pelajaran ringan sampai mentari menyapa.
Setelah menyelesaikan kegiatan pagi itu, Agri dan kawan-kawannya membersihkan diri. Tidak lupa sarapan, sebelum mengikuti pelajaran formal di sekolah. Jadwal masuk sekolah formal, dimulai pukul 7.30 - 15.00. Hanya ada jeda 1-2 jam untuk beristirahat dan salat Asar, Agri kembali mengikuti pelajaran agama hingga pukul 22.00.
“Semua aktivitas itu sudah dijalani selama kurang lebih enam tahun. Sejak lulus SD, sampai sekarang kelas XII, ucapnya kepada Kaltim Post, Selasa (9/8).
Stres? Agri menjawab tidak. Dia menjalani kepadatan jadwal belajar di pesantren dengan santai. Sebaliknya, ketika ada waktu belajar yang kosong karena guru atau ustaz berhalangan tak jarang membuat gadis asal Muara Wahau, Kutai Timur, itu kebingungan.
“Menurut saya, kegiatan sehari penuh di sekolah atau pesantren itu sangat bermanfaat. Saya masih bisa beristirahat, berkumpul, dan bermain dengan teman-teman di tengah kegiatan yang terjadwal itu. Jadi, happy saja, enggak stres,” ucap perempuan 16 tahun itu.
Senada diungkapkan Shinta Tri Choirunnisa dan Aulia Oktavia. Mereka mengaku tidak tertekan dengan jadwal pelajaran dan kegiatan yang full. Awalnya, saat pertama kali masuk pesantren memang kaget. Karena sistem pendidikan yang berbeda dengan sekolah umum.
“Tapi, lama-lama terbiasa. Lebih menyenangkan lagi, kegiatan yang padat di sekolah dan pesantren membuat saya bisa lebih dekat dengan teman. Karena sosialisasinya lebih jalan,” ucap Shinta yang sudah empat tahun tinggal di pondok. Shinta dan Aulia merupakan siswi SMA kelas XI.
Dibandingkan dengan rencana penerapan sekolah seharian alias full day school untuk sekolah umum, kegiatan Agri dan santriwati lainnya, tampak lebih padat. Karena itu memang bukan hal asing lagi hampir di seluruh pondok pesantren.
Menanggapi rencana penerapan sekolah seharian oleh Mendikbud Muhadjir Effendy, Sekretaris Pesantren Nabil Husein, Samarinda, Abdul Gafur mengatakan, program tersebut dasarnya memang bagus. Karena dapat membimbing anak-anak, mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat.
“Tetapi, keputusan juga perlu dikembalikan kepada anak. Karena secara psikis, anak tidak bisa terus-terusan disuruh belajar. Sesuaikan dengan kondisi anak, agar dapat menerima kegiatan yang padat itu,” ucap Gafur. (More)
Mengenai Wacana Full Day School dan Sistem Pesantren
Reviewed by Admin2
on
12:17 PM
Rating:
Post a Comment