Panduan Mengelola Masjid
Tulisan ini adalah komentar atas buku “Panduan Mengelola Masjid: Sebagai Pusat Kegiatan Umat” yang ditulis oleh Drs. H. Ahmad Yani, et al. Penerbit Pustaka Intermasa (http://www.intermasa.com). Buku ini terbit tahun 2007 dan nampaknya masih terjual di toko-toko buku.
Secara umum buku ini sangat bagus dan dapat dijadikan sebagai pedoman pengelolaan masjid secara modern dan berdaya guna. Upgradasi fungsi masjid secara holistik memang sangat dibutuhkan seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dewasa ini dengan berbagai tuntutan yang diharapkan dapat memenuhi berbagai kebutuhan ibadah.
Pertanyaan yang paling krusial yang timbul di dalam pikiran ketika seseorang masuk measjid di waktu shalat adalah mengapa masjid kosong peminat setidaknya di luar waktu sholat jum’at?
Apakah hal itu karena jama’ah malas ke masjid dan memilih sholat di rumah?? Apakah hal itu karena umat telah mengalami degradasi semangat untuk menunaikan ibadah lima waktu di masjid? Atau apakah karena pengurus masjid tidak kreatif sehingga jama’ah merasa malas untuk menunaikan ibadah??? Atau kah ada faktor lain???
Bila kita perhatikan secara kasat mata di Jakarta dan sekitarnya ada beberapa faktor yang sangat krusial yang selama ini kurang diperhatikan pengurus masjid sehingga secara tidak langsung membuat umat atau jama’ahnya tidak betah dan menjaga jarak dari masjid.
Masalah pertama adalah adanya perubahan dan pergeseran tanggung jawab dalam pengurusan masjid. Dengan tidak bermaksud mengeneralisir, banyak masjid di Jakrta, Depok, Bogor dan Tangerang yang dibangun oleh swadaya masyarakat sendiri. Misalnya sebuah RT berusaha mengumpulkan dana lalu membangun masjid di RT mereka. Tujuan utamanya mungkin adalah agar jarak dan waktu menuju masjid dapat dipersingkat.
Hal ini sangat bagus sekali. Terlihat ada kemandirian masyarakat untuk membangun. Namun tampaknya sistem pembangunan seperti ini sangat banyak menuai hal negatif. Ketiadaan induk dan afiliasi masjid secara nasional membuat berbagai penyimpangan di masjid tersebut menjadi tidak dapat terkontrol.
Sebuah masjid yang telah dibangun misalnya seharusnya melaporkan diri ke pihak yang berwenang seperti MUI, NU, Muhammadiyah atau lainnya dan lembaga itulah nantinya yang membimbing pengelola masjid dan melakukan standarisasi keilmuwan pengurusnya mengenai kecakapan menghitung zakat, kemampuan imam, khatib dan berbagai pengetahuan lainnya.
Lembaga tersebut juga akan selalu melakuan audit, pelatihan berkala dan berbagai program pembinaan lainnya sehingga kepengurusan masjid menjadi akuntable dan bertanggung jawab.
Tanpa itu, yang ada adalah seperti yang ditemukan sekarang ini. Banyak pengurus masjid adalah mereka yang merasa berjasa membangun masjid sehingga merasa tidak harus menunaikan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip kerja profesional dan bertanggung jawab. Sehingga banyak pameo yang mengatakan bahwa banyak individu yang kurang bertanggung jawab berusaha membangun masjid bukan untuk ibadah tapi untuk memenuhi kebutuhan duniawinya. Mendapat penghormatan, kedudukan dan bahkan menyelewengkan dana-dana masjid itu untuk tujuan yang tidak semestinya alias korupsi.
Masjid seharusnya diurus oleh badan wakaf yang independen dan dikontrol oleh lembaga-lembaga tersebut di atas. Masjid seharusnya tidak menjadi milik pribadi sehingga secara suka hati diarahkan kemana pemiliknya menginginkannya.
Maka jangan heran bila banyak masyarakat yang menjaga jarak dari masjid. Khususnya sebuah masjid komunitas. Karena dalam berbagai kasus, pengurus masjid yang nota bene adalah keluarga pendiri atau keturunan pendiri masjid yang standar keilmuannya kurang kompeten, dengan seenaknya dapat menteror maupun mengancam warga yang tidak mau menyumbang untuk masjid.
Banyak pula contoh, di mana pengurus RT adalah juga pengurus masjid. Sehingga penyelewengan saat posisinya sebagai RT akan berimbas kepada kepengurusan masjid. Banyak warga yang diterlantarkan hak-haknya dalam pengurusan jenazah dan keperluan lainnya hanya karena warga tersebut vokal menyuarakan berbagai penyimpangan di masjid.
Banyak warga yang membiarkan saja RT nya korupsi, karena kalau tidak akan di’cekek’ di masjid karena Ketua RT juga adalah pengurus masjid. Bahkan di Bogor sering terjadi konflik horizontal akibat intrik-intrik yang terjadi di masjid tersebut.
Seorang tetua agama yang sudah dikenal sebagai pemimpin sebuah kepengurusan masjid menghajar jama’ah lainnya hanya karena kelompok masyarakat itu merasa gerah dengan sistem kepengurusan yang korup di masjid itu dan mereka kemudian berusaha membangun masjid mereka sendiri.
Merasa ditinggalkan jama’ahnya dan tentunya penerimaan sumbangan dan zakat akan ikut berkurang maka perangpun dikumandangkan. Berbagai fitnahpun dilancarkan mulai dari aliran sesat dan lain sebagainya yang berujung kepada kerusuhan massal.
Saat masjid telah dikuasai oleh individu yang tidak bertanggung jawab, yang tidak transparan, yang tidak akuntabel maka semua prahara politik dapat saja terjadi di tempat tersebut seiring dengan berkembangnya waktu. Apakah masjid harus mengalami hal demikian????
Hal negatif lainnya dari ketidak akuntabelan dan sifat un-organiseable sebuah masjid adalah mudahnya terjadi penyelewengan baik itu secara keuangan, aliran maupun akidah di masjid tersebut.
Sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang ‘tokoh agama’ yang tidak jelas latar belakangnya, dan mungkin saja dulunya dia hanya seorang pengangguran, preman yang kebetulan sering ikut menghadiri majlis taklim, akan mudah mengalami hal itu. Rendahnya pengetahuan sang ‘imam’ yang tidak pernah diudgrade, tidak sesuai dengan sistematisasi pengetahuan agama yang baku tentunya akan mengarahkan jama’ahnya secara tidak sadar kepada pelencengan agama. Apatah lagi apabila dia dipengaruhi oleh kelompok-kelompok underground yang anti kepada kemapanan Islam. Maka semuanya akan semakin runyam.
Jadi untuk menghindari itu semua, ada berbagai saran yang perlu kiranya diperhatikan:
1. Izin pembangunan masjid harus tetap dimudahkan karena itu merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia yang paling dasar.
2. Segera setelah masjid terbangun, pihak yang berinisiatif membangun harus segera mendeklarasikan bahwa masjid tersebut adalah milik umat. Dan perlu dibacakan apa saja hak-hak warga atas mesjid itu dan apa kewajiban pengurus masjid untuk warga. Sehingga (kepengurusan) masjid tidak boleh dan dilarang menolak siapapun warga yang ingin menggunakan masjid untuk ibadah, pemandian jenazah, mengaji dan lain sebagainya. Bila sebuah pengurus masjid menolak untuk memandikan dan mengurus jenazah maka hal itu dapat dianggap sebagai sebuah tindakan yang melanggar hukum.
3. Pengurus masjid seharusnya segera melaporkan berdirinya masjid tersebut kepada lembaga-lembaga untuk pembinaan. Baik itu Dewan Masjid Indonesia, MUI, NU, Muhammadiyah dan lain sebagainya agar lembaga-lembaga tersebut dapat melakukan pembinaan dan pemantauan kegiatan di masjid.
4. Pengurus masjid tidak diperkenankan melakukan tindakan diskrimasi terhadap warga. Memaksa memberikan sumbangan, sadakah, infak dan lain sebagainya yang memberatkan dan penuh keterpaksaan. Pengurus masjid harus tunduk kepada kaidah-kaidah yang dianut Islam yakni dakwah dalam pengertian penganjuran dan penyebar kabar gembira (mubassyiran wa naziran).
5. Pengurus masjid harus mengutamakan akhlak karimah untuk tetap mempertahankan jama’ah agar tetap melakukan ibadah di masjid.
6. Kepengurusan masjid harus tanggap terhadap kendala-kendala maupaun masalah-masalah sosial yang dialami warga sekitarnya. Misalnya kelaparan, musibah, kesusahan, sakit jiwa, kefakiran, deviasi sosial, kenakalan remaja, musafir (pendatang yang kesusahan), ketiadaan air, ibn sabil dan lain sebagainya. Mereka harus bertindak sebagai, pengayom, pencegah, pengobat dan konseling.
7. Pengurus masjid ada baiknya menguasai buku tersebut di atas, agar manajemen masjid dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip organisasi yang membawa kepada keberkahan.
Masjid di Perkotaan
Selain masalah masjid komunitas ada juga beberapa kendala yang dialami oleh masjid perkotaan. Biasanya masjid ini hanya penuh di waktu-waktu tertentu saja. Karena jama’ahnya adalah karyawan yang kerja di perusahaan-perusahaan sekitar masjid maka tantangannya pun berbeda dengan masjid komunitas.
Satu hal kendala yang dialami adalah banyak masjid perkotaan yang sering digunakan di luar tujuan ibadah. Misalnya untuk istirahat (tidur-tiduran), ngobrol (diskusi), toilet bagi pejalan atau mereka yang sedang lewat, tempat berteduh saat hujan dan lain sebagainya.
Yang sangat disayangkan adalah banyak masjid perkotaan yang melakukan larangan-larangan untuk hal-hal tersebut di atas. Mengapa harus melarang???? Bukankah itu memang kodrat dan karakteristik masjid perkotaan???
Inilah yang kurang disadari oleh banyak kepengurusan masjid. Padahal bila hal-hal primer tersebut di atas difasilitasi, betapa banyak manfaat masjid yang dapat digunakan oleh umat. Betapa mereka akan semakin betah untuk mendatangi masjid tersebut.
Di India sebuah masjid perkotaan biasanya telah mengantisipasi hal itu dengan berbagai strategi dan cara sehingga membuat jama’ahnya betah tinggal dan beri’tikaf di masjid. Hal itu dilakukan sebagai sebuah konsekuensi wajar membangun masjid di perkotaan.
Biasanya di sana masjid perkotaan juga mempunyai fasilitas atau ruangan untuk istirahat. Biasanya itu di beranda, halaman dan ruangan khusus. Bahkan ada yang mengisinya dengan buku-buku ringan, brosur-brosur, peta kota, informasi-informasi bisnis dan kegiatan, CD agama, majalah dan berbagai fasiltas AC, di samping al qur’an yang merupakan bacaan wajib, agar mereka yang sedang istirahat merasa nyaman dan tidak terganggu. Mereka yang ingin ngobrol dan diskusi ringan sesama mereka juga dapat melakuakn aktifitasnya di sini tanpa mengganggu mereka yang sedang ibadah.
Bahkan ada masjid yang memiliki ‘musafir khana’ atau bisa diartikan sebagai kamar musafir yang dapat digunakan ramai-ramai sehingga meraka yang sedang bermusafir, berkedara, bepergian dapat istirahat dengan baik, tentu tanpa melupakan waktu shalat yang menjadi standar masjid itu.
Pengajian-pengajian ringan yang bersifat skiming, atau memperdengarkan ayat-ayat al Qor’an dan menjelaskan maksudnya serta beberapa tausiyah dan nilai-nilai posistif yang diambil dari hadits sering dilaksanakan dalam berbagai halaqah setelah selesai sholat dengan tujuan mereka yang sedang lewat, iseng mendatangi masjid dan lain sebagainya mempunyai kesempatan untuk mengetahui dengan mendengarkan ajaran yang disampaikan.
Di samping itu sebuah masjid perkotaan biasanya mempunyai bilik-bilik toilet dengan jumlah yang banyak. Sehingga mereka yang sekedar mampir dapat melakukan aktifitas toiletnya dengan nyaman. Bilik ini terbuka setiap saat dapat digunakan untuk buang air kecil, besar bahkan untuk mandi karena dilengkapi dengan shower.
Karakteristik India yang sangat panas di musim panas juga disiasati dengan pengadaan air bersih yang dapat diminum dengan kran-kran yang steril, hal ini sudah banyak diterapkan di Masjidil Haram Makkah dan Madinah.
Bila musim dingin tiba, air tersebut juga menyediakan pemanas agar mereka yang mengambil air wudhu dan mandi tidak membeku dan mengalami gejala hipotermia yang malah membuat sakit jama’ah tersebut.
Sesekali masjid juga mengadakan pembagian makanan kotak gratis bagi musafir, fakir miskin dan gelandangan di sekitar masjid. Biasanya hal itu dilakukan seusai sholat jum’at.
Oleh itulah, tidak heran bila masjid-masjid perkotaan juga mempunyai dapur umum untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam sebuah niat dakwah. Dalam kondisi darusat alias adanya musibah, masjid juga dapat dilakukan sebagai shelter, penampungan pengungsi, mengatasi bahaya kelaparan, penyediaan makan minum yang bersih saat wabah melanda dana tujuan-tujuan lainnya yang berfungsi meringankan beban masyatakt sekitar ketika ditimpa bencana seperti banjir, gempa bumi dan lain sebagainya.
Di lain pihak masjid juga menyediakan sarana perlindungan berupa bantuan hukum, konsultasi agama, konseling psikologi, klinik-klinik gratis untuk penyakit ringan, pemeriksaan kesehatan gratis, kampanye sunat massal, kampanye kebersihan, kampanye bebas rokok, kesetaraan ummat (gender), informasi bahaya AIDS, informasi tren-tren kesehatan kontemporer, ada juga yang melengkapi fasilitas-fasiltas masjid dengan pusat informasi kerja dan penempatan kerja, pusat data pemuda-pemuda yang membutuhkan pekerjaan serta perlindungan terhadap mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga maupun menjadi korban dari sebuah ketidakadilan sosial.
Sehingga tidak heran bila masjid perkotaan mempunyai sistem administrasi yang di dalamnya terdapat pusat data identitas anggota jama’ah yang membutuhkan, data statistik masyarakat sekitar, jumlah pengangguran, profesi, perbandingan tingkat kelahiran dan kematian, perbandingan laki-laki dan perempuan, masalah-masalah sosial yang sering timbul, tingkat kehidupan dan informasi-informasi apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat sekitarnya serta bagaimana cara mengatasinya.
Jadi alih-alih melakukan pelarangan-pelarangan yang membuat kesan masjid sangat eksklusif, banyak masjid di luar negeri bahkan berbenah diri dan berusaha tampil sebaik mungkin agar masjid dapat menjadi ‘their second home’ bagi jama’ah dan ini semua tidak terlepas dari dakwah dan pendidikan masjid terhadap jama’ah.
Maka tidak jarang banyak warga yang selama ini merasa sangat dintungkan dan dibantu masjid tersebut berusaha sedapat mungkin sekali setahun kembali berziarah ke masjid tersebut dan memberikan sumbangan ala kadarnya sebagai ucapan terima kasih kepada keihklasan pengurus masjid tersebut. Jadi hubungan antara masjid dan jama’ahnya bukan saja di lima waktu sholat saja tapi berlangsung terus menerus sampai azal menanti seseorang. Walau antara masjid dan jama’ahnya tersebut sudah terpisahakn oleh geografi dan jarak.
Indonesia Harus Berubah
Nah, yang menjadi pertanyaan di Indonesia, mengapa masjid dijadikan sebagai sebuah tempat yang angker dan menyeramkan??? Kesan otoriter dan kasar dalam melakukan pelarangan-pelaranag harus dihilangkan dari masjid. Masji adalah untuk tempat ibadah dan mereka yang berteduh dari hujan adalah ibadah juga. Ibadah menyelamatkan jiwanya dari bahaya kemungkinan sakit ditimpa hujan. Mereka yang sedang istirahat karena seharian kerja dan bepergian juga adalah ibadah. Siapa tahu dengan mampir ke masjid untuk istirahat, jiwanya terpanggil untuk mengisi kekosongan-kekosongan spiritualnya yang selam ini tidak disadarinya.
Masjid di Indonesia harus tanggap. Memakmurkan masjid itu bukanlah berarti dengan membuat masjid eksklusif, akan tetapi membuat masjid sebisa mungkin berguna bagi masyarakat dan umat dalam segala aspek kehidupan mereka yang semuanya bermuara dari niat ibadah.
Secara umum buku ini sangat bagus dan dapat dijadikan sebagai pedoman pengelolaan masjid secara modern dan berdaya guna. Upgradasi fungsi masjid secara holistik memang sangat dibutuhkan seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dewasa ini dengan berbagai tuntutan yang diharapkan dapat memenuhi berbagai kebutuhan ibadah.
Pertanyaan yang paling krusial yang timbul di dalam pikiran ketika seseorang masuk measjid di waktu shalat adalah mengapa masjid kosong peminat setidaknya di luar waktu sholat jum’at?
Apakah hal itu karena jama’ah malas ke masjid dan memilih sholat di rumah?? Apakah hal itu karena umat telah mengalami degradasi semangat untuk menunaikan ibadah lima waktu di masjid? Atau apakah karena pengurus masjid tidak kreatif sehingga jama’ah merasa malas untuk menunaikan ibadah??? Atau kah ada faktor lain???
Bila kita perhatikan secara kasat mata di Jakarta dan sekitarnya ada beberapa faktor yang sangat krusial yang selama ini kurang diperhatikan pengurus masjid sehingga secara tidak langsung membuat umat atau jama’ahnya tidak betah dan menjaga jarak dari masjid.
Masalah pertama adalah adanya perubahan dan pergeseran tanggung jawab dalam pengurusan masjid. Dengan tidak bermaksud mengeneralisir, banyak masjid di Jakrta, Depok, Bogor dan Tangerang yang dibangun oleh swadaya masyarakat sendiri. Misalnya sebuah RT berusaha mengumpulkan dana lalu membangun masjid di RT mereka. Tujuan utamanya mungkin adalah agar jarak dan waktu menuju masjid dapat dipersingkat.
Hal ini sangat bagus sekali. Terlihat ada kemandirian masyarakat untuk membangun. Namun tampaknya sistem pembangunan seperti ini sangat banyak menuai hal negatif. Ketiadaan induk dan afiliasi masjid secara nasional membuat berbagai penyimpangan di masjid tersebut menjadi tidak dapat terkontrol.
Sebuah masjid yang telah dibangun misalnya seharusnya melaporkan diri ke pihak yang berwenang seperti MUI, NU, Muhammadiyah atau lainnya dan lembaga itulah nantinya yang membimbing pengelola masjid dan melakukan standarisasi keilmuwan pengurusnya mengenai kecakapan menghitung zakat, kemampuan imam, khatib dan berbagai pengetahuan lainnya.
Lembaga tersebut juga akan selalu melakuan audit, pelatihan berkala dan berbagai program pembinaan lainnya sehingga kepengurusan masjid menjadi akuntable dan bertanggung jawab.
Tanpa itu, yang ada adalah seperti yang ditemukan sekarang ini. Banyak pengurus masjid adalah mereka yang merasa berjasa membangun masjid sehingga merasa tidak harus menunaikan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip kerja profesional dan bertanggung jawab. Sehingga banyak pameo yang mengatakan bahwa banyak individu yang kurang bertanggung jawab berusaha membangun masjid bukan untuk ibadah tapi untuk memenuhi kebutuhan duniawinya. Mendapat penghormatan, kedudukan dan bahkan menyelewengkan dana-dana masjid itu untuk tujuan yang tidak semestinya alias korupsi.
Masjid seharusnya diurus oleh badan wakaf yang independen dan dikontrol oleh lembaga-lembaga tersebut di atas. Masjid seharusnya tidak menjadi milik pribadi sehingga secara suka hati diarahkan kemana pemiliknya menginginkannya.
Maka jangan heran bila banyak masyarakat yang menjaga jarak dari masjid. Khususnya sebuah masjid komunitas. Karena dalam berbagai kasus, pengurus masjid yang nota bene adalah keluarga pendiri atau keturunan pendiri masjid yang standar keilmuannya kurang kompeten, dengan seenaknya dapat menteror maupun mengancam warga yang tidak mau menyumbang untuk masjid.
Banyak pula contoh, di mana pengurus RT adalah juga pengurus masjid. Sehingga penyelewengan saat posisinya sebagai RT akan berimbas kepada kepengurusan masjid. Banyak warga yang diterlantarkan hak-haknya dalam pengurusan jenazah dan keperluan lainnya hanya karena warga tersebut vokal menyuarakan berbagai penyimpangan di masjid.
Banyak warga yang membiarkan saja RT nya korupsi, karena kalau tidak akan di’cekek’ di masjid karena Ketua RT juga adalah pengurus masjid. Bahkan di Bogor sering terjadi konflik horizontal akibat intrik-intrik yang terjadi di masjid tersebut.
Seorang tetua agama yang sudah dikenal sebagai pemimpin sebuah kepengurusan masjid menghajar jama’ah lainnya hanya karena kelompok masyarakat itu merasa gerah dengan sistem kepengurusan yang korup di masjid itu dan mereka kemudian berusaha membangun masjid mereka sendiri.
Merasa ditinggalkan jama’ahnya dan tentunya penerimaan sumbangan dan zakat akan ikut berkurang maka perangpun dikumandangkan. Berbagai fitnahpun dilancarkan mulai dari aliran sesat dan lain sebagainya yang berujung kepada kerusuhan massal.
Saat masjid telah dikuasai oleh individu yang tidak bertanggung jawab, yang tidak transparan, yang tidak akuntabel maka semua prahara politik dapat saja terjadi di tempat tersebut seiring dengan berkembangnya waktu. Apakah masjid harus mengalami hal demikian????
Hal negatif lainnya dari ketidak akuntabelan dan sifat un-organiseable sebuah masjid adalah mudahnya terjadi penyelewengan baik itu secara keuangan, aliran maupun akidah di masjid tersebut.
Sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang ‘tokoh agama’ yang tidak jelas latar belakangnya, dan mungkin saja dulunya dia hanya seorang pengangguran, preman yang kebetulan sering ikut menghadiri majlis taklim, akan mudah mengalami hal itu. Rendahnya pengetahuan sang ‘imam’ yang tidak pernah diudgrade, tidak sesuai dengan sistematisasi pengetahuan agama yang baku tentunya akan mengarahkan jama’ahnya secara tidak sadar kepada pelencengan agama. Apatah lagi apabila dia dipengaruhi oleh kelompok-kelompok underground yang anti kepada kemapanan Islam. Maka semuanya akan semakin runyam.
Jadi untuk menghindari itu semua, ada berbagai saran yang perlu kiranya diperhatikan:
1. Izin pembangunan masjid harus tetap dimudahkan karena itu merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia yang paling dasar.
2. Segera setelah masjid terbangun, pihak yang berinisiatif membangun harus segera mendeklarasikan bahwa masjid tersebut adalah milik umat. Dan perlu dibacakan apa saja hak-hak warga atas mesjid itu dan apa kewajiban pengurus masjid untuk warga. Sehingga (kepengurusan) masjid tidak boleh dan dilarang menolak siapapun warga yang ingin menggunakan masjid untuk ibadah, pemandian jenazah, mengaji dan lain sebagainya. Bila sebuah pengurus masjid menolak untuk memandikan dan mengurus jenazah maka hal itu dapat dianggap sebagai sebuah tindakan yang melanggar hukum.
3. Pengurus masjid seharusnya segera melaporkan berdirinya masjid tersebut kepada lembaga-lembaga untuk pembinaan. Baik itu Dewan Masjid Indonesia, MUI, NU, Muhammadiyah dan lain sebagainya agar lembaga-lembaga tersebut dapat melakukan pembinaan dan pemantauan kegiatan di masjid.
4. Pengurus masjid tidak diperkenankan melakukan tindakan diskrimasi terhadap warga. Memaksa memberikan sumbangan, sadakah, infak dan lain sebagainya yang memberatkan dan penuh keterpaksaan. Pengurus masjid harus tunduk kepada kaidah-kaidah yang dianut Islam yakni dakwah dalam pengertian penganjuran dan penyebar kabar gembira (mubassyiran wa naziran).
5. Pengurus masjid harus mengutamakan akhlak karimah untuk tetap mempertahankan jama’ah agar tetap melakukan ibadah di masjid.
6. Kepengurusan masjid harus tanggap terhadap kendala-kendala maupaun masalah-masalah sosial yang dialami warga sekitarnya. Misalnya kelaparan, musibah, kesusahan, sakit jiwa, kefakiran, deviasi sosial, kenakalan remaja, musafir (pendatang yang kesusahan), ketiadaan air, ibn sabil dan lain sebagainya. Mereka harus bertindak sebagai, pengayom, pencegah, pengobat dan konseling.
7. Pengurus masjid ada baiknya menguasai buku tersebut di atas, agar manajemen masjid dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip organisasi yang membawa kepada keberkahan.
Masjid di Perkotaan
Selain masalah masjid komunitas ada juga beberapa kendala yang dialami oleh masjid perkotaan. Biasanya masjid ini hanya penuh di waktu-waktu tertentu saja. Karena jama’ahnya adalah karyawan yang kerja di perusahaan-perusahaan sekitar masjid maka tantangannya pun berbeda dengan masjid komunitas.
Satu hal kendala yang dialami adalah banyak masjid perkotaan yang sering digunakan di luar tujuan ibadah. Misalnya untuk istirahat (tidur-tiduran), ngobrol (diskusi), toilet bagi pejalan atau mereka yang sedang lewat, tempat berteduh saat hujan dan lain sebagainya.
Yang sangat disayangkan adalah banyak masjid perkotaan yang melakukan larangan-larangan untuk hal-hal tersebut di atas. Mengapa harus melarang???? Bukankah itu memang kodrat dan karakteristik masjid perkotaan???
Inilah yang kurang disadari oleh banyak kepengurusan masjid. Padahal bila hal-hal primer tersebut di atas difasilitasi, betapa banyak manfaat masjid yang dapat digunakan oleh umat. Betapa mereka akan semakin betah untuk mendatangi masjid tersebut.
Di India sebuah masjid perkotaan biasanya telah mengantisipasi hal itu dengan berbagai strategi dan cara sehingga membuat jama’ahnya betah tinggal dan beri’tikaf di masjid. Hal itu dilakukan sebagai sebuah konsekuensi wajar membangun masjid di perkotaan.
Biasanya di sana masjid perkotaan juga mempunyai fasilitas atau ruangan untuk istirahat. Biasanya itu di beranda, halaman dan ruangan khusus. Bahkan ada yang mengisinya dengan buku-buku ringan, brosur-brosur, peta kota, informasi-informasi bisnis dan kegiatan, CD agama, majalah dan berbagai fasiltas AC, di samping al qur’an yang merupakan bacaan wajib, agar mereka yang sedang istirahat merasa nyaman dan tidak terganggu. Mereka yang ingin ngobrol dan diskusi ringan sesama mereka juga dapat melakuakn aktifitasnya di sini tanpa mengganggu mereka yang sedang ibadah.
Bahkan ada masjid yang memiliki ‘musafir khana’ atau bisa diartikan sebagai kamar musafir yang dapat digunakan ramai-ramai sehingga meraka yang sedang bermusafir, berkedara, bepergian dapat istirahat dengan baik, tentu tanpa melupakan waktu shalat yang menjadi standar masjid itu.
Pengajian-pengajian ringan yang bersifat skiming, atau memperdengarkan ayat-ayat al Qor’an dan menjelaskan maksudnya serta beberapa tausiyah dan nilai-nilai posistif yang diambil dari hadits sering dilaksanakan dalam berbagai halaqah setelah selesai sholat dengan tujuan mereka yang sedang lewat, iseng mendatangi masjid dan lain sebagainya mempunyai kesempatan untuk mengetahui dengan mendengarkan ajaran yang disampaikan.
Di samping itu sebuah masjid perkotaan biasanya mempunyai bilik-bilik toilet dengan jumlah yang banyak. Sehingga mereka yang sekedar mampir dapat melakukan aktifitas toiletnya dengan nyaman. Bilik ini terbuka setiap saat dapat digunakan untuk buang air kecil, besar bahkan untuk mandi karena dilengkapi dengan shower.
Karakteristik India yang sangat panas di musim panas juga disiasati dengan pengadaan air bersih yang dapat diminum dengan kran-kran yang steril, hal ini sudah banyak diterapkan di Masjidil Haram Makkah dan Madinah.
Bila musim dingin tiba, air tersebut juga menyediakan pemanas agar mereka yang mengambil air wudhu dan mandi tidak membeku dan mengalami gejala hipotermia yang malah membuat sakit jama’ah tersebut.
Sesekali masjid juga mengadakan pembagian makanan kotak gratis bagi musafir, fakir miskin dan gelandangan di sekitar masjid. Biasanya hal itu dilakukan seusai sholat jum’at.
Oleh itulah, tidak heran bila masjid-masjid perkotaan juga mempunyai dapur umum untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam sebuah niat dakwah. Dalam kondisi darusat alias adanya musibah, masjid juga dapat dilakukan sebagai shelter, penampungan pengungsi, mengatasi bahaya kelaparan, penyediaan makan minum yang bersih saat wabah melanda dana tujuan-tujuan lainnya yang berfungsi meringankan beban masyatakt sekitar ketika ditimpa bencana seperti banjir, gempa bumi dan lain sebagainya.
Di lain pihak masjid juga menyediakan sarana perlindungan berupa bantuan hukum, konsultasi agama, konseling psikologi, klinik-klinik gratis untuk penyakit ringan, pemeriksaan kesehatan gratis, kampanye sunat massal, kampanye kebersihan, kampanye bebas rokok, kesetaraan ummat (gender), informasi bahaya AIDS, informasi tren-tren kesehatan kontemporer, ada juga yang melengkapi fasilitas-fasiltas masjid dengan pusat informasi kerja dan penempatan kerja, pusat data pemuda-pemuda yang membutuhkan pekerjaan serta perlindungan terhadap mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga maupun menjadi korban dari sebuah ketidakadilan sosial.
Sehingga tidak heran bila masjid perkotaan mempunyai sistem administrasi yang di dalamnya terdapat pusat data identitas anggota jama’ah yang membutuhkan, data statistik masyarakat sekitar, jumlah pengangguran, profesi, perbandingan tingkat kelahiran dan kematian, perbandingan laki-laki dan perempuan, masalah-masalah sosial yang sering timbul, tingkat kehidupan dan informasi-informasi apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat sekitarnya serta bagaimana cara mengatasinya.
Jadi alih-alih melakukan pelarangan-pelarangan yang membuat kesan masjid sangat eksklusif, banyak masjid di luar negeri bahkan berbenah diri dan berusaha tampil sebaik mungkin agar masjid dapat menjadi ‘their second home’ bagi jama’ah dan ini semua tidak terlepas dari dakwah dan pendidikan masjid terhadap jama’ah.
Maka tidak jarang banyak warga yang selama ini merasa sangat dintungkan dan dibantu masjid tersebut berusaha sedapat mungkin sekali setahun kembali berziarah ke masjid tersebut dan memberikan sumbangan ala kadarnya sebagai ucapan terima kasih kepada keihklasan pengurus masjid tersebut. Jadi hubungan antara masjid dan jama’ahnya bukan saja di lima waktu sholat saja tapi berlangsung terus menerus sampai azal menanti seseorang. Walau antara masjid dan jama’ahnya tersebut sudah terpisahakn oleh geografi dan jarak.
Indonesia Harus Berubah
Nah, yang menjadi pertanyaan di Indonesia, mengapa masjid dijadikan sebagai sebuah tempat yang angker dan menyeramkan??? Kesan otoriter dan kasar dalam melakukan pelarangan-pelaranag harus dihilangkan dari masjid. Masji adalah untuk tempat ibadah dan mereka yang berteduh dari hujan adalah ibadah juga. Ibadah menyelamatkan jiwanya dari bahaya kemungkinan sakit ditimpa hujan. Mereka yang sedang istirahat karena seharian kerja dan bepergian juga adalah ibadah. Siapa tahu dengan mampir ke masjid untuk istirahat, jiwanya terpanggil untuk mengisi kekosongan-kekosongan spiritualnya yang selam ini tidak disadarinya.
Masjid di Indonesia harus tanggap. Memakmurkan masjid itu bukanlah berarti dengan membuat masjid eksklusif, akan tetapi membuat masjid sebisa mungkin berguna bagi masyarakat dan umat dalam segala aspek kehidupan mereka yang semuanya bermuara dari niat ibadah.
Panduan Mengelola Masjid
Reviewed by marbun
on
12:28 PM
Rating:
Post a Comment