Binanga di Subulussalam, Aceh: Mata Rantai Dakwah Islam di Singkil, Pakpak Bharat, Dairi dan Karo
Asal usul Kerajaan Binanga di Subulussalam, Aceh, menyimpan lapisan sejarah yang kompleks dan menarik. Data arkeologis dan epigrafi memberikan petunjuk tentang keberadaan permukiman kuno ini, yang tampaknya terkait dengan jaringan perdagangan yang luas di wilayah Sumatra.
Prasasti Kedukan Bukit, yang ditemukan di Palembang dan berasal dari abad ke-7, mencatat perjalanan raja Sriwijaya (Dapunta Hyang) menuju Binanga (Minanga). Meskipun terdapat indikasi lokasi Binanga di Palembang dan Padang Lawas, Sumatra Utara, berdasarkan temuan arkeologis periode klasik, Binanga di Subulussalam tampaknya tidak terkait dengan Binanga yang disebutkan dalam prasasti tersebut.
Ketiadaan temuan arkeologis dari periode Hindu-Buddha di Subulussalam menunjukkan bahwa wilayah ini belum dihuni pada abad ke-7. Sejarah Binanga di Subulussalam baru dapat ditelusuri setelah periode tersebut, khususnya pada abad ke-17, ketika pantai barat Aceh menjadi pusat perdagangan internasional.
Keberadaan batu nisan Islam dari abad ke-18 dan ke-19 di situs Binanga menjadi bukti autentik tentang sejarah kawasan pantai barat Aceh pada masa lampau. Batu nisan ini memberikan informasi penting tentang permukiman Muslim di pedalaman Aceh, yang berbeda dengan kota-kota pesisir yang ramai dengan aktivitas perdagangan rempah.
Sejarah Binanga tidak dapat dipisahkan dari sejarah Singkel, Pakpak Bharat, Dairi dan Karo yang merupakan bagian dari Kesultanan Aceh sejak abad ke-16. Singkel memiliki peran penting dalam sejarah Aceh, dengan tokoh-tokoh intelektual Muslim seperti Hamzah Fansuri dan Abdul Rauf al-Singkili yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan Islam di wilayah tersebut.
Pengaruh Aceh di pantai barat Sumatra dimulai pada abad ke-16, ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke pusat rempah di Tiku-Pariaman dan Bengkulu. Penempatan utusan Kesultanan Aceh di Pariaman menunjukkan kontrol Aceh atas perdagangan dan politik di wilayah tersebut.
Secara geografis, Binanga berdekatan dengan Barus, yang telah menjadi pusat perdagangan maritim sejak abad ke-11. Prasasti Lobu Tua mencatat aktivitas perdagangan di Barus pada masa itu, yang menunjukkan hubungan antara wilayah pesisir dan pedalaman.
Penemuan nisan Barus di Binanga menunjukkan adanya interaksi perdagangan dan budaya antara kedua wilayah tersebut. Nisan-nisan tersebut, yang terbuat dari batu andesit berpori dan memiliki ciri khas yang berbeda dengan nisan Aceh, mengindikasikan adanya komunitas pedagang atau pemukiman yang terkait dengan Barus di Binanga.
Penelitian lebih lanjut tentang nisan-nisan Barus di Binanga diperlukan untuk mengungkap lebih banyak informasi tentang hubungan antara kedua wilayah tersebut pada masa lampau. Penelitian ini dapat memberikan wawasan baru tentang sejarah perdagangan dan budaya di Aceh.
Penelitian tentang permukiman Muslim di pedalaman pantai barat Aceh dengan pendekatan arkeologis masih sangat minim. Penelitian tentang Makam Raja Binanga, dengan koleksi batu nisan Islam kunonya, menjadi sangat penting untuk melengkapi data kesejarahan Aceh.
Penemuan nisan Barus di Binanga juga menunjukkan bahwa Binanga memiliki sejarah yang kaya dan kompleks. Situs ini bukan hanya sekadar tempat pemakaman, tetapi juga saksi bisu dari interaksi perdagangan dan budaya yang pernah terjadi di wilayah ini.
Penelitian tentang nisan-nisan Barus di Binanga dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman sejarah Aceh secara keseluruhan. Situs ini adalah bagian penting dari warisan budaya Indonesia, yang perlu dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang.
Binanga di Subulussalam, Aceh: Mata Rantai Dakwah Islam di Singkil, Pakpak Bharat, Dairi dan Karo
Reviewed by Admin2
on
12:29 AM
Rating:
Post a Comment