Ada Pesantren Pancasila di Salatiga
KBAA -- Sebuah pondok pesantren (ponpes) yang terletak di Dusun Klumpit, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga mempunyai nama yang unik. Namanya, Pondok Pesantren " Pancasila".
"Nama Pancasila sendiri, supaya lebih mudah memasyarakat dan mudah diingat," kata Kiai Muhlasin, pendiri Ponpes Pancasila, saat ditemui pada Selasa (30/5/2017) petang.
Nama Pancasila ini terbukti membawa berkah. Bermula dari tanah seluas 700 meter persegi yang diwakafkan keluarga Haji Jumadi dan Hajah Marmi, Ponpes yang berdiri 10 September 1992 ini mendapat simpati dari masyarakat luas.
Sejumlah warga seperti Mukson, Haji Kaseh, Rahmad, dan Jarkimin dengan sukarela mewakafkan tanah mereka. Tanah tersebut digunakan untuk akses jalan dari asrama putra sampai ke jalan raya sepanjang kurang lebih 50 meter dengan lebar 2 meter.
"Berkat dukungan masyarakat, Pondok semakin berkembang dan alhamdulillah santri mulai banyak yang mengaji. Mulai dari usia SD sampai mahasiswa meski bangunannya seadanya. Santri putra bertempat di lantai satu dan santri putri di lantai dua," lanjutnya.
Melihat kondisi ini, Kiai Muhlasin merasa prihatin lantaran lokasi asrama santri putra dan putri menjadi satu. Ia ingin memperluas pondok, namun terbentur dengan keterbatasan tanah.
Kiai Muhlasin melihat ada sebidang tanah yang cukup luas, berada 50 meter di sebelah barat Pondok yang dipisahkan dengan permukiman penduduk.
Namun tanah tersebut dimiliki Yayasan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang rencananya akan dibangun perumahan.
Meski sempat ragu, Kiai Muhlasin memberanikan diri untuk membeli tanah tersebut guna perluasan pondok. Di luar dugaannya, pihak UKSW melepaskan tanah tersebut.
"Tanah tersebut kavlingan UKSW yang mana kepemilikan tanahnya punya sebelas pendeta. Alhamdulillah pada 9 September 1999 pondok dapat membebaskan tanah tersebut, kemudian dibangunlah asrama putri Ponpes Pancasila Darul Muhlasin," ujarnya.
Kiai Muhlasin mengaku, rasa pesimistis itu muncul karena perbedaan keyakinan antara dirinya dengan pemilik tanah. Selain itu, lokasi tanah yang berada di Jalan Fatmawati Salatiga ini sangat strategis dan bernilai ekonomi tinggi lantaran berada di dekat jalur utama Semarang-Solo.
Namun keraguannya itu akhrinya terbantahkan. Pendeta menyetujui permintaan Kiai Muhlasin.
"Alhamdulillah dilepas dengan harga normal," tandasnya.
"Tidak apa-apa pak Kiai. Kita sama-sama penggembala," kata Kiai Muhlasin, menirukan ucapan salah seorang pendeta yang ia temui saat itu.
Saat ini, Pesantren Pancasila yang bercorak salafiyah ini telah berkembang dan dikolaborasikan dengan sistem modern. Itu terlihat dengan berdirinya SMK Elektro Pancasila pada 2004 di sebelah selatan asrama putra dan dibukanya Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau setara SMP pada 2008 di sebelah barat asrama putri.
Para alumninya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, baik di Jawa maupun luar Jawa seperti Pontianak, Jambi, Lampung, Padang. Para alumninya juga banyak yang telah mendirikan pondok pesantren dengan jumlah santri ribuan orang.
"Tercatat ada 26 pesantren yang didirikan para alumni. Di Kabupaten Semarang misalnya, ada pesantren Al Mina dan Nurul Amal di Bandungan, di Jambi ada pesantren Al Inayah Jambi itu punya 2.000 santri sekarang," ucapnya.
Tidak hanya nama pondok saja yang nasionalis, Kiai Muhlasin mengajarkan sikap, pandangan dan ajaran Islam yang washatiyah (moderat) dan Islam rahmatan lil'alamin. Tak heran pesantren ini kerap dikunjungi para pejabat, mulai dari bupati, wali kota, gubernur, hingga menteri.
"Mudah-mudahan keberadaan Ponpes Pancasila bisa membawa keberkahan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Hanya Pak Presiden saja yang belum kesini," kelakar Kiai Muhlasin. (sumber)
Lihat: Yayasan Mahmun Syarif Marbun
"Nama Pancasila sendiri, supaya lebih mudah memasyarakat dan mudah diingat," kata Kiai Muhlasin, pendiri Ponpes Pancasila, saat ditemui pada Selasa (30/5/2017) petang.
Nama Pancasila ini terbukti membawa berkah. Bermula dari tanah seluas 700 meter persegi yang diwakafkan keluarga Haji Jumadi dan Hajah Marmi, Ponpes yang berdiri 10 September 1992 ini mendapat simpati dari masyarakat luas.
Sejumlah warga seperti Mukson, Haji Kaseh, Rahmad, dan Jarkimin dengan sukarela mewakafkan tanah mereka. Tanah tersebut digunakan untuk akses jalan dari asrama putra sampai ke jalan raya sepanjang kurang lebih 50 meter dengan lebar 2 meter.
"Berkat dukungan masyarakat, Pondok semakin berkembang dan alhamdulillah santri mulai banyak yang mengaji. Mulai dari usia SD sampai mahasiswa meski bangunannya seadanya. Santri putra bertempat di lantai satu dan santri putri di lantai dua," lanjutnya.
Melihat kondisi ini, Kiai Muhlasin merasa prihatin lantaran lokasi asrama santri putra dan putri menjadi satu. Ia ingin memperluas pondok, namun terbentur dengan keterbatasan tanah.
Kiai Muhlasin melihat ada sebidang tanah yang cukup luas, berada 50 meter di sebelah barat Pondok yang dipisahkan dengan permukiman penduduk.
Namun tanah tersebut dimiliki Yayasan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang rencananya akan dibangun perumahan.
Meski sempat ragu, Kiai Muhlasin memberanikan diri untuk membeli tanah tersebut guna perluasan pondok. Di luar dugaannya, pihak UKSW melepaskan tanah tersebut.
"Tanah tersebut kavlingan UKSW yang mana kepemilikan tanahnya punya sebelas pendeta. Alhamdulillah pada 9 September 1999 pondok dapat membebaskan tanah tersebut, kemudian dibangunlah asrama putri Ponpes Pancasila Darul Muhlasin," ujarnya.
Kiai Muhlasin mengaku, rasa pesimistis itu muncul karena perbedaan keyakinan antara dirinya dengan pemilik tanah. Selain itu, lokasi tanah yang berada di Jalan Fatmawati Salatiga ini sangat strategis dan bernilai ekonomi tinggi lantaran berada di dekat jalur utama Semarang-Solo.
Namun keraguannya itu akhrinya terbantahkan. Pendeta menyetujui permintaan Kiai Muhlasin.
"Alhamdulillah dilepas dengan harga normal," tandasnya.
"Tidak apa-apa pak Kiai. Kita sama-sama penggembala," kata Kiai Muhlasin, menirukan ucapan salah seorang pendeta yang ia temui saat itu.
Saat ini, Pesantren Pancasila yang bercorak salafiyah ini telah berkembang dan dikolaborasikan dengan sistem modern. Itu terlihat dengan berdirinya SMK Elektro Pancasila pada 2004 di sebelah selatan asrama putra dan dibukanya Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau setara SMP pada 2008 di sebelah barat asrama putri.
Para alumninya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, baik di Jawa maupun luar Jawa seperti Pontianak, Jambi, Lampung, Padang. Para alumninya juga banyak yang telah mendirikan pondok pesantren dengan jumlah santri ribuan orang.
"Tercatat ada 26 pesantren yang didirikan para alumni. Di Kabupaten Semarang misalnya, ada pesantren Al Mina dan Nurul Amal di Bandungan, di Jambi ada pesantren Al Inayah Jambi itu punya 2.000 santri sekarang," ucapnya.
Tidak hanya nama pondok saja yang nasionalis, Kiai Muhlasin mengajarkan sikap, pandangan dan ajaran Islam yang washatiyah (moderat) dan Islam rahmatan lil'alamin. Tak heran pesantren ini kerap dikunjungi para pejabat, mulai dari bupati, wali kota, gubernur, hingga menteri.
"Mudah-mudahan keberadaan Ponpes Pancasila bisa membawa keberkahan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Hanya Pak Presiden saja yang belum kesini," kelakar Kiai Muhlasin. (sumber)
Lihat: Yayasan Mahmun Syarif Marbun
Ada Pesantren Pancasila di Salatiga
Reviewed by Admin2
on
1:34 AM
Rating:
Post a Comment