Pesantren Moral
Oleh ROHENDI
BANGSA Indonesia saat ini berada pada suatu peradaban permisif. Suatu peradaban, di mana hal yang asing dan haram menjadi sesuatu yang wajar dan halal untuk dilakukan. Sopan santun, kebohongan, kekerasan, seks bebas, korupsi, dan hal lain yang searti dengan itu, merupakan sesuatu yang akrab dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Melihat fenomena-fenomena ini, membuat khawatir sebagian masyarakat atau orang tua yang peduli terhadap pendidikan anggota keluarganya. Pendidikan di rumah, hampa, mengingat orang tua, sibuk dengan urusan sendiri. Sementara sekolah, padat dengan pencapaian kurikulum yang menonjolkan sistem nilai kognitif belaka. Standar moral dan spiritual anak nyaris tanpa sentuhan, sehingga nilai dan norma yang tertanam pada diri anak hanya sesuatu yang absurd.
Kita memiliki jenjang pendidikan yang menerapkan keseimbangan antara nilai materialistik dengan nilai moral-spiritual, yaitu madrasah. Namun madrasah yang dikenal saat ini, kurang memiliki greget dalam sistem pembelajarannya. Untuk itu, perlu adanya revitalisasi madrasah.
Hedonisme atau pandangan yang mengagungkan kenikmatan materi sebagai tujuan hidup, telah melanda sebagian masyarakat kita. Kejahatan kerah putih, penjarahan, kekerasan seksual, perselingkuhan, pemujaan terhadap tubuh (fetisisme), merupakan fakta klise yang setiap saat kita temui.
Ulah-ulah amoral mereka kembangkan untuk mencapai kepuasan individual, kelompok, yang mengarah pada sektarian. Perjudian dikemas dengan dalih mencari dana sosial. Pornoaksi dan pornografi dikemas untuk hiburan. Padahal sesungguhnya hanya sajian kesenangan semu yang menggiring masyarakat ke lembah nista.
Melihat kenyataan bahwa moral telah termarginalisasi, pesantren moral dibutuhkan untuk menata ulang pendidikan moral, yang sekaligus juga untuk mengikis dan menetralisasi paham amoral yang telah menjadi budaya sebagian kawula muda. Dengan pesantren moral diharapkan tumbuh moral religi sebagai entitas dari peningkatan iman dan takwa
**
SISTEM Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003, pasal 17 menyiratkan bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan jenjang pendidikan yang setara dengan sekolah dasar (SD), madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan sekolah menengah pertama (SMP). Pasal 18 mengungkapkan bahwa madrasah aliyah (MA) setara dengan sekolah menengah atas (SMA) serta madrasah aliyah kejuruan (MAK) setara dengan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Namun legal formal kesetaraan belum mampu mengangkat kualitas pendidikan sains madrasah untuk menyejajarakan diri dengan sekolah umum. Permasalahan yang ada sebetulnya adalah masalah klise, seperti sarana dan prasarana, guru, dan kurikulum. Kenyataan, banyak murid madrasah belajar di bawah ancaman runtuhnya bangunan. Banyak madrasah tidak memiliki sarana dan prasarana yang memenuhi standar minimal.
Masalah klise lain adalah pendidik. Minimnya tenaga pendidik, tidak memiliki kualifikasi edukasi, dan salah kamar (mismatch) dari pendidik, paling banyak ditemui di madrasah. Kurikulum madrasah sebagai hasil adopsi dari kurikulum sekolah umum, terlalu padat dan berat, karena sarat dengan muatan kognitif. Selain itu juga, kurikulum tidak mengembangkan potensi anak secara maksimal. Dalam keadaan kurikulum sulit "dicerna" anak, pembebanan makin bertambah dengan muatan lokal madrasah yang juga membutuhkan kemampuan pemahaman yang baik.
Kenyataan-kenyataan yang menjadi faktor penghambat dalam meningkatkan kualitas madrasah harus segera ditata ulang. Harus ada usaha dan keinginan yang kuat untuk merevitalisasi madrasah, sehingga tidak ada kesan seolah madrasah menjadi sekolah kelas dua.
**
DEWASA ini hampir setiap individu telah menempatkan materi dan kekuasan menjadi tujuan hidup. Suatu fakta yang sulit ditepis, bahwa dengan kekayaan materi dan atau kekuasaan, membuat orang menjadi terhormat. Untuk memberikan perlawanan terhadap hal ini, dibutuhkan pendidikan yang memberikan keseimbangan dalam mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan spiritual.
Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed., dalam bukunya Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 mengatakan bahwa pendidikan nasional yang dibutuhkan dalam abad mendatang adalah sistem pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal semata, tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus sebagai satu kesatuan utuh.
Model pendidikan yang sesuai dengan harapan itu adalah madrasah. Madrasah telah memiliki landasan dalam mengembangkan potensi manusia secara utuh di mana pendidikan yang mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan ilmu agama yang di dalamnya sudah tercakup kecerdasan emosi dan moral sudah diterapkan.
Pendidikan yang bernuansa Islam yang semakin kondusif berhasil diadopsi oleh sekolah-sekolah swasta Islam. Sekolah-sekolah itu telah menyinergikan secara apik antara pendididikan sains dan pendidikan agama. Kecermatan pengelolaan telah membuahkan output yang mampu bersaing, sehingga mendapat tempat di masyarakat. Menata ulang sistem pendidikan madrasah akan lebih efisien dibandingkan dengan menggabungkan diri ke sekolah umum. Semoga madrasah menjadi sekolah unggulan pada masa yang akan datang.
***
Penulis adalah guru SMA Alfa Centauri Bandung
BANGSA Indonesia saat ini berada pada suatu peradaban permisif. Suatu peradaban, di mana hal yang asing dan haram menjadi sesuatu yang wajar dan halal untuk dilakukan. Sopan santun, kebohongan, kekerasan, seks bebas, korupsi, dan hal lain yang searti dengan itu, merupakan sesuatu yang akrab dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Melihat fenomena-fenomena ini, membuat khawatir sebagian masyarakat atau orang tua yang peduli terhadap pendidikan anggota keluarganya. Pendidikan di rumah, hampa, mengingat orang tua, sibuk dengan urusan sendiri. Sementara sekolah, padat dengan pencapaian kurikulum yang menonjolkan sistem nilai kognitif belaka. Standar moral dan spiritual anak nyaris tanpa sentuhan, sehingga nilai dan norma yang tertanam pada diri anak hanya sesuatu yang absurd.
Kita memiliki jenjang pendidikan yang menerapkan keseimbangan antara nilai materialistik dengan nilai moral-spiritual, yaitu madrasah. Namun madrasah yang dikenal saat ini, kurang memiliki greget dalam sistem pembelajarannya. Untuk itu, perlu adanya revitalisasi madrasah.
Hedonisme atau pandangan yang mengagungkan kenikmatan materi sebagai tujuan hidup, telah melanda sebagian masyarakat kita. Kejahatan kerah putih, penjarahan, kekerasan seksual, perselingkuhan, pemujaan terhadap tubuh (fetisisme), merupakan fakta klise yang setiap saat kita temui.
Ulah-ulah amoral mereka kembangkan untuk mencapai kepuasan individual, kelompok, yang mengarah pada sektarian. Perjudian dikemas dengan dalih mencari dana sosial. Pornoaksi dan pornografi dikemas untuk hiburan. Padahal sesungguhnya hanya sajian kesenangan semu yang menggiring masyarakat ke lembah nista.
Melihat kenyataan bahwa moral telah termarginalisasi, pesantren moral dibutuhkan untuk menata ulang pendidikan moral, yang sekaligus juga untuk mengikis dan menetralisasi paham amoral yang telah menjadi budaya sebagian kawula muda. Dengan pesantren moral diharapkan tumbuh moral religi sebagai entitas dari peningkatan iman dan takwa
**
SISTEM Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003, pasal 17 menyiratkan bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan jenjang pendidikan yang setara dengan sekolah dasar (SD), madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan sekolah menengah pertama (SMP). Pasal 18 mengungkapkan bahwa madrasah aliyah (MA) setara dengan sekolah menengah atas (SMA) serta madrasah aliyah kejuruan (MAK) setara dengan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Namun legal formal kesetaraan belum mampu mengangkat kualitas pendidikan sains madrasah untuk menyejajarakan diri dengan sekolah umum. Permasalahan yang ada sebetulnya adalah masalah klise, seperti sarana dan prasarana, guru, dan kurikulum. Kenyataan, banyak murid madrasah belajar di bawah ancaman runtuhnya bangunan. Banyak madrasah tidak memiliki sarana dan prasarana yang memenuhi standar minimal.
Masalah klise lain adalah pendidik. Minimnya tenaga pendidik, tidak memiliki kualifikasi edukasi, dan salah kamar (mismatch) dari pendidik, paling banyak ditemui di madrasah. Kurikulum madrasah sebagai hasil adopsi dari kurikulum sekolah umum, terlalu padat dan berat, karena sarat dengan muatan kognitif. Selain itu juga, kurikulum tidak mengembangkan potensi anak secara maksimal. Dalam keadaan kurikulum sulit "dicerna" anak, pembebanan makin bertambah dengan muatan lokal madrasah yang juga membutuhkan kemampuan pemahaman yang baik.
Kenyataan-kenyataan yang menjadi faktor penghambat dalam meningkatkan kualitas madrasah harus segera ditata ulang. Harus ada usaha dan keinginan yang kuat untuk merevitalisasi madrasah, sehingga tidak ada kesan seolah madrasah menjadi sekolah kelas dua.
**
DEWASA ini hampir setiap individu telah menempatkan materi dan kekuasan menjadi tujuan hidup. Suatu fakta yang sulit ditepis, bahwa dengan kekayaan materi dan atau kekuasaan, membuat orang menjadi terhormat. Untuk memberikan perlawanan terhadap hal ini, dibutuhkan pendidikan yang memberikan keseimbangan dalam mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan spiritual.
Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed., dalam bukunya Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 mengatakan bahwa pendidikan nasional yang dibutuhkan dalam abad mendatang adalah sistem pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal semata, tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus sebagai satu kesatuan utuh.
Model pendidikan yang sesuai dengan harapan itu adalah madrasah. Madrasah telah memiliki landasan dalam mengembangkan potensi manusia secara utuh di mana pendidikan yang mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan ilmu agama yang di dalamnya sudah tercakup kecerdasan emosi dan moral sudah diterapkan.
Pendidikan yang bernuansa Islam yang semakin kondusif berhasil diadopsi oleh sekolah-sekolah swasta Islam. Sekolah-sekolah itu telah menyinergikan secara apik antara pendididikan sains dan pendidikan agama. Kecermatan pengelolaan telah membuahkan output yang mampu bersaing, sehingga mendapat tempat di masyarakat. Menata ulang sistem pendidikan madrasah akan lebih efisien dibandingkan dengan menggabungkan diri ke sekolah umum. Semoga madrasah menjadi sekolah unggulan pada masa yang akan datang.
***
Penulis adalah guru SMA Alfa Centauri Bandung
Pesantren Moral
Reviewed by marbun
on
5:41 AM
Rating:
Post a Comment