Belajar dari Santri Ilmuwan Robotika Indonesia
KBAA -- Malik Khidir, mungkin ada sebagian yang pernah mendengar namanya di media-media masa ataupun mengisi seminar kepemudaan, namun banyak juga yang belum mengenalnya. Pria 25 tahun ini menghabiskan masa tsanawiyahnya di Pondok Pesantren Al-Hikmah Brebes, kemudian melanjutkan masa aliyahnya di Pondok Pesantren At-Tauhidiyah Tegal lalu mengembara di Pondok Pesantren Al-Barokah Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada.
Bila memasuki kantornya di daerah Sleman, jangan kaget bila terpampang sekitar dua puluhan foto ulama nusantara yang menghiasi dinding ruangan, mulai dari Habib Luthfi, KH. Maemun Zubair dan para ulama lainnya. Dan juga sholawat-sholawat ataupun murottal yang menggema di kantornya yang hommy. Kantornya bukan sembarang kantor, kantor sekaligus kediamannya ini menjadi pusat pembuatan robot-robot oleh anak muda. Selain itu, Malik dan teman-temannya begitu terbuka bila ada yang ingin berlatih kepada mereka, termasuk utusan dari Pondok Pesantren Lirboyo yang baru-baru ini mengunjunginya.
Peraih penghargaan dari Menpora sebagai pemuda pelopor tingkat internasional bidang teknologi dan informatika ini selalu bangga dengan identitasnya sebagai seorang santri. Identitasnya itu tidak pernah ditinggalkan meskipun mengunjungi New York, Harvard University, Massachusetts Institute of Tecnology, California, China, Makkah, Madinah maupun setiap provinsi di Kanada. Di Kanada, Malik menjadi delegasi Indonesia sebagai Outstanding Student of The World untuk mempresentasikan karya-karya robotiknya di universitas-universitas yang ada di setiap provinsi di Kanada.
Malik mengaku bukan orang yang pandai, rata-rata nilai ujian nasionalnya pun hanya 7. Meskipun membuat belasan robot, tapi nilai robotikanya hanya C. Begitupun dengan nilai pemrograman dan matematikanya, yang seharusnya menjadi syarat untuk dapat berhasil membuat robot. Tapi Malik menyadari, yang dibutuhkan dalam membuat robot bukanlah kecerdasan atau IPK Cumlaude, tapi yang dibutuhkan adalah kesabaran dan daya tahan menghadapi kesulitan. Kesabaran dan daya tahan menghadapi kesulitan itu tidak diajarkan di universitas ataupun sekolah-sekolah formal, tapi digembleng dan dipraktikkan langsung di pondok pesantren.
“Bagi saya, santri adalah orang yang selalu berproses untuk berkarya. Berkarya dalam bidang keahliannya masing-masing. Mengaji, mengajar, menulis, membuat robot dan lain sebagainya. Seorang santri haruslah dapat mengurai nilai-nilai yang terkandung dalam kitab-kitab ulama salaf maupun Al-Qur’an untuk diterapkan dalam proses berkaryanya. Begitupun dengan pembuatan robot-robot ini, diilhami dari kitab-kitab salaf, seperti kitab Ummul Barohain yang sering saya baca. Karena di dalamnya bahkan dijelaskan secara rinci proses pembuatan emas. Sebenarnya, banyak rahasia-rahasia teknologi yang dapat digali dari kitab-kitab ulama salaf. Tak salah bila saat Perang Salib, banyak kitab karya ulama-ulama yang dibakar adalah kitab-kitab yang berkaitan dengan teknologi. Dan itulah yang seharusnya menjadi tantangan bagi para santri, untuk menggali rahasia-rahasia ilmu dan diaplikasikan dalam proses berkaryanya.” Jelas Malik.
Proses pembuatan sebuah robot bukan proses yang mudah, untuk memprogram sebuah robot diperlukan waktu sekitar dua tahun untuk satu robotnya. Butuh, kesabaran, kegigihan, dan daya tahan terhadap kesulitan.
“Yang susah adalah pemmrogramannya, membuat sistem dengan bahasa pemrograman. Sejatinya, semua perangkat elektronik baik itu robot, laptop, handphone dan lain sebagainya bergerak dengan digital. Bahasa pemrograman yang terdiri dari bilangan biner, hanya tersusun dari angka 0 dan angka 1. Bila angka 0 itu diartikan dengan Laa ilaa ha dan angka 1 adalah illallaah, maka setiap semua perangkat dijalankan, mereka lantas berdzikir, Laa ilaa ha illallaah.” papar Malik kagum.
Malik begitu bersyukur menghabiskan waktunya untuk belajar dan ditempa di pondok pesantren. Sebuah sistem pendidikan yang baru-baru ini gencar di terapkan di Oxford, karena dinilai sebagai sistem pendidikan yang paling baik.
“Kepada semua santri khususnya dan pada pemuda umumnya untuk terus berkarya, profesional dan berjamaah. Berkarya dengan niat Lillah, sesuai dengan bidang dan profesi masing-masing. Dan tak lupa untuk membangun jamaah dalam berkarya agar tak mudah dipatahkan orang. Berkarya, profesional dan berjamaah!” pesan Malik, peraih medali emas kontes Fire Fighting Robogames 2013 yang juga pemenang kontes robot internasional lainnya. (sumber)
Lihat: Yayasan Mahmun Syarif Marbun
Bila memasuki kantornya di daerah Sleman, jangan kaget bila terpampang sekitar dua puluhan foto ulama nusantara yang menghiasi dinding ruangan, mulai dari Habib Luthfi, KH. Maemun Zubair dan para ulama lainnya. Dan juga sholawat-sholawat ataupun murottal yang menggema di kantornya yang hommy. Kantornya bukan sembarang kantor, kantor sekaligus kediamannya ini menjadi pusat pembuatan robot-robot oleh anak muda. Selain itu, Malik dan teman-temannya begitu terbuka bila ada yang ingin berlatih kepada mereka, termasuk utusan dari Pondok Pesantren Lirboyo yang baru-baru ini mengunjunginya.
Peraih penghargaan dari Menpora sebagai pemuda pelopor tingkat internasional bidang teknologi dan informatika ini selalu bangga dengan identitasnya sebagai seorang santri. Identitasnya itu tidak pernah ditinggalkan meskipun mengunjungi New York, Harvard University, Massachusetts Institute of Tecnology, California, China, Makkah, Madinah maupun setiap provinsi di Kanada. Di Kanada, Malik menjadi delegasi Indonesia sebagai Outstanding Student of The World untuk mempresentasikan karya-karya robotiknya di universitas-universitas yang ada di setiap provinsi di Kanada.
Malik mengaku bukan orang yang pandai, rata-rata nilai ujian nasionalnya pun hanya 7. Meskipun membuat belasan robot, tapi nilai robotikanya hanya C. Begitupun dengan nilai pemrograman dan matematikanya, yang seharusnya menjadi syarat untuk dapat berhasil membuat robot. Tapi Malik menyadari, yang dibutuhkan dalam membuat robot bukanlah kecerdasan atau IPK Cumlaude, tapi yang dibutuhkan adalah kesabaran dan daya tahan menghadapi kesulitan. Kesabaran dan daya tahan menghadapi kesulitan itu tidak diajarkan di universitas ataupun sekolah-sekolah formal, tapi digembleng dan dipraktikkan langsung di pondok pesantren.
“Bagi saya, santri adalah orang yang selalu berproses untuk berkarya. Berkarya dalam bidang keahliannya masing-masing. Mengaji, mengajar, menulis, membuat robot dan lain sebagainya. Seorang santri haruslah dapat mengurai nilai-nilai yang terkandung dalam kitab-kitab ulama salaf maupun Al-Qur’an untuk diterapkan dalam proses berkaryanya. Begitupun dengan pembuatan robot-robot ini, diilhami dari kitab-kitab salaf, seperti kitab Ummul Barohain yang sering saya baca. Karena di dalamnya bahkan dijelaskan secara rinci proses pembuatan emas. Sebenarnya, banyak rahasia-rahasia teknologi yang dapat digali dari kitab-kitab ulama salaf. Tak salah bila saat Perang Salib, banyak kitab karya ulama-ulama yang dibakar adalah kitab-kitab yang berkaitan dengan teknologi. Dan itulah yang seharusnya menjadi tantangan bagi para santri, untuk menggali rahasia-rahasia ilmu dan diaplikasikan dalam proses berkaryanya.” Jelas Malik.
Proses pembuatan sebuah robot bukan proses yang mudah, untuk memprogram sebuah robot diperlukan waktu sekitar dua tahun untuk satu robotnya. Butuh, kesabaran, kegigihan, dan daya tahan terhadap kesulitan.
“Yang susah adalah pemmrogramannya, membuat sistem dengan bahasa pemrograman. Sejatinya, semua perangkat elektronik baik itu robot, laptop, handphone dan lain sebagainya bergerak dengan digital. Bahasa pemrograman yang terdiri dari bilangan biner, hanya tersusun dari angka 0 dan angka 1. Bila angka 0 itu diartikan dengan Laa ilaa ha dan angka 1 adalah illallaah, maka setiap semua perangkat dijalankan, mereka lantas berdzikir, Laa ilaa ha illallaah.” papar Malik kagum.
Malik begitu bersyukur menghabiskan waktunya untuk belajar dan ditempa di pondok pesantren. Sebuah sistem pendidikan yang baru-baru ini gencar di terapkan di Oxford, karena dinilai sebagai sistem pendidikan yang paling baik.
“Kepada semua santri khususnya dan pada pemuda umumnya untuk terus berkarya, profesional dan berjamaah. Berkarya dengan niat Lillah, sesuai dengan bidang dan profesi masing-masing. Dan tak lupa untuk membangun jamaah dalam berkarya agar tak mudah dipatahkan orang. Berkarya, profesional dan berjamaah!” pesan Malik, peraih medali emas kontes Fire Fighting Robogames 2013 yang juga pemenang kontes robot internasional lainnya. (sumber)
Lihat: Yayasan Mahmun Syarif Marbun
Belajar dari Santri Ilmuwan Robotika Indonesia
Reviewed by Admin2
on
2:22 PM
Rating:
Post a Comment