Dakwah Konstruksi (Al Bina)
Dakwah konstruksi atau infrastruktur merupakan bagian dari Dakwah Bil Hal. Dakwah ini digagas biasanya untuk meningkatkan dan paling tidak mempertahankan keimanan seseorang yang menjadi objek dakwah terhadap aqidah yang benar. Dakwah Konstruksi adalah usaha dakwah yang dimanifestasi dengan pembangunan prasarana vital, perumahan, jembatan, masjid, madrasah, taman bacaan, perpustakaan, gedung pertemuan, menara azan dan lain sebagainya.
Sekarang ini dakwah konstruksi dipraktekkan di berbagai negara dengan nama-nama yang berbeda namun tujuan yang sama. Semuanya bermuara pada niat untuk membangun solidaritas sosial (ukhuwah islamiyah) yang menjadi tonggak berdirnya bangunan peradaban sebuah bangsa dan komunitas umat.
Ada yang bernama Jihad al Bina, Gotong Royong, Relawan Pembagunan, Ibadah membangun dan lain sebagainya. Sasaran dari dakwah ini adalah masyarakat yang terkena musibah, seperti gempa bumi, banjir, angin topan dan lain sebagainya.
Di luar saat-saat non musibah, dakwah konstruksi juga digalakkan terutama untuk membantu keluarga-keluarga yang belum mampu memiliki rumah, gelandangan dan kelompok-kelompok marjinal lainnya.
Pembangunan rumah sederhana pernah digalakkan oleh ulama-ulama di sebuah negara di Asia untuk menampung para pengungsi, gelandangan dan mereka yang homeless lainnya. Ada yang memilih untuk membangun rumah bersama semacam aula untuk menampung keluarga-keluarga miskin secara massal.
Aula besar ini semacam gedung yang terdiri dari berbagai ruangan yang terdiri dari ruang penginapan, dapur umum, toilet, ruang bermain anak-anak dan lain sebagainya. Berbagai proyek pendidikan digalakkan dan penghuni dewasa distimulasi untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi secara sukarela maupun bergaji agar bisa tetap survive menyambung hidup keluarganya. Berbeda dengan pembangunan rumah, penghuni aula super ini sifatnya sementara. Sesaat penghuninya dianggap telah mampu dan mempunyai menghasilan yang mencukupi, mereka akan diprogram untuk menjalani proses transisi untuk dilepaskan kepada masyarakat layaknya keluarga yang normal.
Dahulu kala, dakwah semacam ini dipelopori oleh pesantren-pesantren. Di India, Pakistan, Bangladesh dan negara-negara sekitarnya, banyak pesantren yang menyediakan program pengentasan kemiskinan seperti ini. Pembangunan pesantren dibuat semassif mungkin sehingga memungkinkan ribuan keluarga yang membutuhkan hidup di dalamnya. Ratusan kamar-kamar dipenuhi keluaga yang tidak mampu tersebut yang setiap hari menyibukkan diri dengan program-program pendidikan keahlian yang berguna bagi mereka kelak, disamping pendidikan agama tentunya.
Program-program dakwah konstruksi semacam ini, baik yang mendirikan rumah sederhana yang bersifat permanen yang akan dimiliki keluarga sasaran dakwah tersebu baik yang berbentuk gedung massal dapat terlaksana berkat pengaturan dan manajemen zakat, infaq, wakaf, hibah, wasiat, DAU (Dana Abadu Umat yang merupakan sisa/keuntungan operasional Haji dan ibadah lainnya) dan sadaqah yang sangat rapi dilakukan dengan tindak korupsi yang sangat minimal.
Program ini sangat terasa manfaatnya dan hampir 90 persen berhasil mencapai tujuan dakwahnya. Maka tidak heran kemiskinan dan kefakiran bukanlah menjadi halangan utama di negara-negara tersebut untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka.
Di luar golongan marjinal, dakwah konstruksi pembangunan rumah sebenarnya juga tetap masih bisa dilakukan. Banyak keluarga-keluarga di Indonesia yang mempunyai rumah, kebanyakan warisan, yang sudah lapuk dimakan usia. Penghuninya setiap saat selalu hidup penuh kekhawatiran karena was-was suatu saat rumah tersebut akan ambruk. Sementara itu di saat yang sama mereka tidak mempunyai biaya untuk merenovasinya. Mereka tidak tergolong miskin, namun hidupnya pas-pasan.
Ada juga yang mempunyai rumah yang bukan warisan, beli sendiri. Namun tertipu dengan kualitas bangunan. Mau merenovasi, uang sudah habis untuk membeli. Ada juga yang membangun rumah tapi ditipu oleh tukang yang mengambil untung terlalu banyak. Kualitas bangunannya jelek sehingga membahayakan penghuninya. Sama juga, mau direnovasi ulang biaya telah habis terkuras.
Nah, di sinilah lembaga dakwah konstruksi bertindak. Menyelamatkan mereka ummat yang sangat membutuhkan. Membantu sesama membangun solidaritas sosial yang kokoh.
Di lain pihak banyak fasilitas-fasilitas umat yang sudah lapuk. Masjid yang hampir rubuh, masjid yang terbuat dari jerami, kayu yang sudah membusuk, kena longsor, jalan menuju masjid yang rusak dan berlumpur, sarana berwudhu yang tidak terjamin sanitasinya dan lain sebagainya.
Dakwah konstruksi bertugas untuk membuang halangan itu semua. Dengan semangat kebersamaan hal itu dapat diatasi. Para ulama-ulama di zaman dahulu, pernah menerapkan hal ini dan disebut dengan gotong royong. Namun sayangnya, dakwah semacam ini banyak yang ditinggalkan. Hal ini dapat dimaklumi karena semangat dan antusiasme ukhuwah telah banyak yang tergerus dengan arus globalisasi dan penyakit-penyakit sosial. Baik itu yang berbentu kecemburuan, kehilangan semangat membangun, eksploitasi semangat kegamaan yang menimbulkan apatisme dalam aktivitas sosial, kepemimpinan yang suka menipu umat, integritas indivisu dan umat yang terdegradasi, kedengkian maupun manipulasi hasil gotong royong tersebut.
Indonesia, adalah sebuah negara di mana dakwah konstruksi sangat urgent untuk dilakukan. Masih banyak umat yang terpaksa tidur di emperan jalan, di bawah kolong tol, di tanah garapan yang sebenarnya milik orang lain, di tempat pembuangan sampah yang bukan untuk hunian, di pinggiran kali yang setiap tahunnya tergenang dan dihantam banjir. Rumah-rumah kardus masih berkeliaran, gubug-gubug reot dan penyot di pedesaan. Jalan-jalan ke desa-desa yang dihuni kebanyakan orang muslim yang sangat berbahaya digunakan, sarana dan prasarana ummat yang sangat minim.
Dakwah konstruksi tidak selalu melulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar sosial (ummat). Dalam berbagai kasus, model dakwah ini juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder maupun tersier. Misalnya di sebuah desa yang terisolir, aktivitas dakwah dapat dilakukan untuk pembangunan menara sehingga masyarakat sekitar dapat mendapat informasi melalui televisi dan lain sebagainya. Lebih jauh dari itu, model dakwah ini juga dapat dilakuakn untuk pembangunan sarana-sarana pendidikan pada bidang-bidang yang selama ini dirasa kurang menguntungkan untuk digarap oleh sistempendidikan komersil; seperti rumah sakit, rumah jompo, panti asuhan, rumah singgah, fasilitas pemandian umum gratis, fasilitas air minum gratis, televisi lokal, pusat riset kesehatan dan kedokateran, pesantren penerbangan, universitas teknologi terapan, sekolah tinggi pada bidang-bidang ilmu canggih namun kurang mendapat perhatian dari pihak-pihak yang berwenang. Penerbitan buku-buku (turats) yang tidak layak jual namun mempunyai mutu yang tinggi, penerjemahan buku-buku penting untuk peradaban, penerbitan buku-buku dan kitab-kitab agama ke ratusan bahasa daerah di Indonesia dan lain sebagainya.
Orang mungkin saja bertanya, untuk apa kita melakukan itu semua??? Bukankah itu merupakan tugas pemerintah??? Memang benar itu merupakah tugas pemerintah. Namun ummat tidak dapat menunggu terlalu lama untuk dapat mempertahankan iman saat kehidupan terus berlangsung dan komitmen pemerintah terlambat datang. Toh, harus diakui pemerintah dan negara Indonesia belum seemansipasi negara lain yang dapat secara mandiri mengelola hajat hidup rakyatnya.
Lagian, kalau di satu pihak dakwah konstruksi dilakukan dan di lain pihak pemerintah bergerak untuk memperbaiki kondisi yang ada bukankah manfaat yang diterima umat menjadi double dan berlipat.
Bila dilihat dari pengalaman berbagai komunitas dan masyarakat Islam dalam Dakwah konstruksi, bentuk dakwah ini dapat terlaksana dengan berbagai prasyarat.
Pertama adanya niat tulus untuk berda’wah tanpa pamrih dan hanya mengharapkan ridha Allah SWT.
Yang kedua adalah adanya kepemimpinan yang akuntabel dan mengerti manajemen yang efektif dan efisien. Kepemimpinan yang kuat ini dapat mencegah kemungkinan adanya pihak-pihak yang mengkomersilkan dan mengambil untung berlebihan di luar tujuan dakwah dari aktivitas ini. Dengan kata lain, eksploitasi dakwah konstruksi atas nama agama tidak dibenarkan.
Adanya objek yang jelas, perencanaan yang kuat sehingga dakwah bukan malah hanya membuat kemubazziran, konflik atau dampak-dampak lain yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan mulia yang sebenarnya.
Adanya manajemen donasi, zakat, infak dan sadakah yang jelas. Sehingga mesin dakwah bisa dihidupkan dengan bahan bakar yang jelas, dapat dipertanggung jawabkan dan akuntabel.
Adanya niat dan kemauan semua pihak dalam bekerjasama untuk melakukan yang terbaik demi kebaikan bersama.
Pertanyaan selanjutnya adalah dari manakah dan siapakah yang menjadi aktivis dakwah ini. Jawaban ini memang rada dan sulit untuk dijawab. Model dakwah semacam ini memang adalah model yang padat karya. Membutuhkan banyak personel-personel untuk mewujudkannya.
Namun dari berbagai pengalaman aktivis-aktivis dakwah dapat direkrut dari berbagai unsur.
Pertama adalah dengan menggalakkan program dan kampanye satu hari bekerja untuk orang lain. Model ini sangat diminati para karyawan dan pekerja super sibuk di mana mereka secara suka rela meluangkan waktu barang sehari dari seminggu atau dari sebulan atau dari secatur wulan, atau sesemester atau setahun untuk bekerja membantu kepentingan orang lain alias bergabung dengan dakwah konstruksi. Model ini lebih berfungsi dilakukan bila dakwah tersebut berskala nasional, namun dapat juga dilakukan dalam skala komunitas namun dengan beberapa strategi khusus.
Kedua dengan merekrut pemuda-pemuda sebagai bagian dari program mengentaskan pengangguran dan kemiskinan. Cara ini sangat bermanfaat bila model dakwah dilakukan dalam sebuah komunitas. Sehingga pengorganisasian dakwah tidak terlalu membutuhkan manajemen yang muluk-muluk.
Model ketiga adalah dengan merekrut sukarelawan sejati. Yakni mereka yang memang mempunyai keinginan untuk bekerja sosial alias social worker. Mereka yang ingin meluangkan waktunya untuk berbuat baik tanpa paksaan dan dimulai dari hati mereka sendiri.
Model keempat adalah dengan pemberdayaan PKL (Praktek Kerja Lapangan) dan KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari kalangan pelajar dan mahasiswa yang masih mengadopsi sistem tersebut.
Model kelima adalah dengan memberdayakan kaum perempuan dan ibu-ibu yang mempunyai banyak waktu luang di rumahnnya. Model ini sangat berguna bila pekerjaan konstruksi yang dilakukan berhubungan dengan ketrampilan khusus dan kerumitan. Seperti pengadaan sandang, pangand dan lain sebagainya.
Keenam adalah dengan menggalakkan bentuk-bentuk ibadah seperti yang banyak dilakukan oleh aktivis-aktivis jama’ah tablig. Pemahaman arti ibadah yang holistik dan bermaksa luas akan dapat merangsang aktivis untuk secara suka rela melakukan aktivitas sosial yang termasuk dalam ibadah sosial.
Ketujuh adalah dengan membentuk pekerja sosial khusus, seperti kepanduan, santri kelompok bela diri dan lain sebagainya. Sehingga aktvitas dakwah konstruksi bukan lagi menjadi pekerjaan sambilan yang dilakukan saat mau-mau saja tapi sudah menjadi profesi dan harus dijalani seumur hidup.
Efektifitas Model Dakwah Konstruksi
Tidak dapat dipungkiri bahwa dakwah konstruksi mempunyai efektifitas yang mendekati 100 persen bila dibandingkan dengan model dakwa selainnya. Dengan menggalakkan dakwah konstruksi, kita bukan saja berdakwah untuk ibadah dalam arti sempit, tapi lebih dari itu ibadah dalam pengertian yang lebih umum. Yakni ibadah memelihara dan membangun peradaban sehingga manusia-manusia yang hidup di dalamnya dapat merasakan kenyaman dalam memupuk keimanan dan ketakwaan.
Sekarang ini dakwah konstruksi dipraktekkan di berbagai negara dengan nama-nama yang berbeda namun tujuan yang sama. Semuanya bermuara pada niat untuk membangun solidaritas sosial (ukhuwah islamiyah) yang menjadi tonggak berdirnya bangunan peradaban sebuah bangsa dan komunitas umat.
Ada yang bernama Jihad al Bina, Gotong Royong, Relawan Pembagunan, Ibadah membangun dan lain sebagainya. Sasaran dari dakwah ini adalah masyarakat yang terkena musibah, seperti gempa bumi, banjir, angin topan dan lain sebagainya.
Di luar saat-saat non musibah, dakwah konstruksi juga digalakkan terutama untuk membantu keluarga-keluarga yang belum mampu memiliki rumah, gelandangan dan kelompok-kelompok marjinal lainnya.
Pembangunan rumah sederhana pernah digalakkan oleh ulama-ulama di sebuah negara di Asia untuk menampung para pengungsi, gelandangan dan mereka yang homeless lainnya. Ada yang memilih untuk membangun rumah bersama semacam aula untuk menampung keluarga-keluarga miskin secara massal.
Aula besar ini semacam gedung yang terdiri dari berbagai ruangan yang terdiri dari ruang penginapan, dapur umum, toilet, ruang bermain anak-anak dan lain sebagainya. Berbagai proyek pendidikan digalakkan dan penghuni dewasa distimulasi untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi secara sukarela maupun bergaji agar bisa tetap survive menyambung hidup keluarganya. Berbeda dengan pembangunan rumah, penghuni aula super ini sifatnya sementara. Sesaat penghuninya dianggap telah mampu dan mempunyai menghasilan yang mencukupi, mereka akan diprogram untuk menjalani proses transisi untuk dilepaskan kepada masyarakat layaknya keluarga yang normal.
Dahulu kala, dakwah semacam ini dipelopori oleh pesantren-pesantren. Di India, Pakistan, Bangladesh dan negara-negara sekitarnya, banyak pesantren yang menyediakan program pengentasan kemiskinan seperti ini. Pembangunan pesantren dibuat semassif mungkin sehingga memungkinkan ribuan keluarga yang membutuhkan hidup di dalamnya. Ratusan kamar-kamar dipenuhi keluaga yang tidak mampu tersebut yang setiap hari menyibukkan diri dengan program-program pendidikan keahlian yang berguna bagi mereka kelak, disamping pendidikan agama tentunya.
Program-program dakwah konstruksi semacam ini, baik yang mendirikan rumah sederhana yang bersifat permanen yang akan dimiliki keluarga sasaran dakwah tersebu baik yang berbentuk gedung massal dapat terlaksana berkat pengaturan dan manajemen zakat, infaq, wakaf, hibah, wasiat, DAU (Dana Abadu Umat yang merupakan sisa/keuntungan operasional Haji dan ibadah lainnya) dan sadaqah yang sangat rapi dilakukan dengan tindak korupsi yang sangat minimal.
Program ini sangat terasa manfaatnya dan hampir 90 persen berhasil mencapai tujuan dakwahnya. Maka tidak heran kemiskinan dan kefakiran bukanlah menjadi halangan utama di negara-negara tersebut untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka.
Di luar golongan marjinal, dakwah konstruksi pembangunan rumah sebenarnya juga tetap masih bisa dilakukan. Banyak keluarga-keluarga di Indonesia yang mempunyai rumah, kebanyakan warisan, yang sudah lapuk dimakan usia. Penghuninya setiap saat selalu hidup penuh kekhawatiran karena was-was suatu saat rumah tersebut akan ambruk. Sementara itu di saat yang sama mereka tidak mempunyai biaya untuk merenovasinya. Mereka tidak tergolong miskin, namun hidupnya pas-pasan.
Ada juga yang mempunyai rumah yang bukan warisan, beli sendiri. Namun tertipu dengan kualitas bangunan. Mau merenovasi, uang sudah habis untuk membeli. Ada juga yang membangun rumah tapi ditipu oleh tukang yang mengambil untung terlalu banyak. Kualitas bangunannya jelek sehingga membahayakan penghuninya. Sama juga, mau direnovasi ulang biaya telah habis terkuras.
Nah, di sinilah lembaga dakwah konstruksi bertindak. Menyelamatkan mereka ummat yang sangat membutuhkan. Membantu sesama membangun solidaritas sosial yang kokoh.
Di lain pihak banyak fasilitas-fasilitas umat yang sudah lapuk. Masjid yang hampir rubuh, masjid yang terbuat dari jerami, kayu yang sudah membusuk, kena longsor, jalan menuju masjid yang rusak dan berlumpur, sarana berwudhu yang tidak terjamin sanitasinya dan lain sebagainya.
Dakwah konstruksi bertugas untuk membuang halangan itu semua. Dengan semangat kebersamaan hal itu dapat diatasi. Para ulama-ulama di zaman dahulu, pernah menerapkan hal ini dan disebut dengan gotong royong. Namun sayangnya, dakwah semacam ini banyak yang ditinggalkan. Hal ini dapat dimaklumi karena semangat dan antusiasme ukhuwah telah banyak yang tergerus dengan arus globalisasi dan penyakit-penyakit sosial. Baik itu yang berbentu kecemburuan, kehilangan semangat membangun, eksploitasi semangat kegamaan yang menimbulkan apatisme dalam aktivitas sosial, kepemimpinan yang suka menipu umat, integritas indivisu dan umat yang terdegradasi, kedengkian maupun manipulasi hasil gotong royong tersebut.
Indonesia, adalah sebuah negara di mana dakwah konstruksi sangat urgent untuk dilakukan. Masih banyak umat yang terpaksa tidur di emperan jalan, di bawah kolong tol, di tanah garapan yang sebenarnya milik orang lain, di tempat pembuangan sampah yang bukan untuk hunian, di pinggiran kali yang setiap tahunnya tergenang dan dihantam banjir. Rumah-rumah kardus masih berkeliaran, gubug-gubug reot dan penyot di pedesaan. Jalan-jalan ke desa-desa yang dihuni kebanyakan orang muslim yang sangat berbahaya digunakan, sarana dan prasarana ummat yang sangat minim.
Dakwah konstruksi tidak selalu melulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar sosial (ummat). Dalam berbagai kasus, model dakwah ini juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder maupun tersier. Misalnya di sebuah desa yang terisolir, aktivitas dakwah dapat dilakukan untuk pembangunan menara sehingga masyarakat sekitar dapat mendapat informasi melalui televisi dan lain sebagainya. Lebih jauh dari itu, model dakwah ini juga dapat dilakuakn untuk pembangunan sarana-sarana pendidikan pada bidang-bidang yang selama ini dirasa kurang menguntungkan untuk digarap oleh sistempendidikan komersil; seperti rumah sakit, rumah jompo, panti asuhan, rumah singgah, fasilitas pemandian umum gratis, fasilitas air minum gratis, televisi lokal, pusat riset kesehatan dan kedokateran, pesantren penerbangan, universitas teknologi terapan, sekolah tinggi pada bidang-bidang ilmu canggih namun kurang mendapat perhatian dari pihak-pihak yang berwenang. Penerbitan buku-buku (turats) yang tidak layak jual namun mempunyai mutu yang tinggi, penerjemahan buku-buku penting untuk peradaban, penerbitan buku-buku dan kitab-kitab agama ke ratusan bahasa daerah di Indonesia dan lain sebagainya.
Orang mungkin saja bertanya, untuk apa kita melakukan itu semua??? Bukankah itu merupakan tugas pemerintah??? Memang benar itu merupakah tugas pemerintah. Namun ummat tidak dapat menunggu terlalu lama untuk dapat mempertahankan iman saat kehidupan terus berlangsung dan komitmen pemerintah terlambat datang. Toh, harus diakui pemerintah dan negara Indonesia belum seemansipasi negara lain yang dapat secara mandiri mengelola hajat hidup rakyatnya.
Lagian, kalau di satu pihak dakwah konstruksi dilakukan dan di lain pihak pemerintah bergerak untuk memperbaiki kondisi yang ada bukankah manfaat yang diterima umat menjadi double dan berlipat.
Bila dilihat dari pengalaman berbagai komunitas dan masyarakat Islam dalam Dakwah konstruksi, bentuk dakwah ini dapat terlaksana dengan berbagai prasyarat.
Pertama adanya niat tulus untuk berda’wah tanpa pamrih dan hanya mengharapkan ridha Allah SWT.
Yang kedua adalah adanya kepemimpinan yang akuntabel dan mengerti manajemen yang efektif dan efisien. Kepemimpinan yang kuat ini dapat mencegah kemungkinan adanya pihak-pihak yang mengkomersilkan dan mengambil untung berlebihan di luar tujuan dakwah dari aktivitas ini. Dengan kata lain, eksploitasi dakwah konstruksi atas nama agama tidak dibenarkan.
Adanya objek yang jelas, perencanaan yang kuat sehingga dakwah bukan malah hanya membuat kemubazziran, konflik atau dampak-dampak lain yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan mulia yang sebenarnya.
Adanya manajemen donasi, zakat, infak dan sadakah yang jelas. Sehingga mesin dakwah bisa dihidupkan dengan bahan bakar yang jelas, dapat dipertanggung jawabkan dan akuntabel.
Adanya niat dan kemauan semua pihak dalam bekerjasama untuk melakukan yang terbaik demi kebaikan bersama.
Pertanyaan selanjutnya adalah dari manakah dan siapakah yang menjadi aktivis dakwah ini. Jawaban ini memang rada dan sulit untuk dijawab. Model dakwah semacam ini memang adalah model yang padat karya. Membutuhkan banyak personel-personel untuk mewujudkannya.
Namun dari berbagai pengalaman aktivis-aktivis dakwah dapat direkrut dari berbagai unsur.
Pertama adalah dengan menggalakkan program dan kampanye satu hari bekerja untuk orang lain. Model ini sangat diminati para karyawan dan pekerja super sibuk di mana mereka secara suka rela meluangkan waktu barang sehari dari seminggu atau dari sebulan atau dari secatur wulan, atau sesemester atau setahun untuk bekerja membantu kepentingan orang lain alias bergabung dengan dakwah konstruksi. Model ini lebih berfungsi dilakukan bila dakwah tersebut berskala nasional, namun dapat juga dilakukan dalam skala komunitas namun dengan beberapa strategi khusus.
Kedua dengan merekrut pemuda-pemuda sebagai bagian dari program mengentaskan pengangguran dan kemiskinan. Cara ini sangat bermanfaat bila model dakwah dilakukan dalam sebuah komunitas. Sehingga pengorganisasian dakwah tidak terlalu membutuhkan manajemen yang muluk-muluk.
Model ketiga adalah dengan merekrut sukarelawan sejati. Yakni mereka yang memang mempunyai keinginan untuk bekerja sosial alias social worker. Mereka yang ingin meluangkan waktunya untuk berbuat baik tanpa paksaan dan dimulai dari hati mereka sendiri.
Model keempat adalah dengan pemberdayaan PKL (Praktek Kerja Lapangan) dan KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari kalangan pelajar dan mahasiswa yang masih mengadopsi sistem tersebut.
Model kelima adalah dengan memberdayakan kaum perempuan dan ibu-ibu yang mempunyai banyak waktu luang di rumahnnya. Model ini sangat berguna bila pekerjaan konstruksi yang dilakukan berhubungan dengan ketrampilan khusus dan kerumitan. Seperti pengadaan sandang, pangand dan lain sebagainya.
Keenam adalah dengan menggalakkan bentuk-bentuk ibadah seperti yang banyak dilakukan oleh aktivis-aktivis jama’ah tablig. Pemahaman arti ibadah yang holistik dan bermaksa luas akan dapat merangsang aktivis untuk secara suka rela melakukan aktivitas sosial yang termasuk dalam ibadah sosial.
Ketujuh adalah dengan membentuk pekerja sosial khusus, seperti kepanduan, santri kelompok bela diri dan lain sebagainya. Sehingga aktvitas dakwah konstruksi bukan lagi menjadi pekerjaan sambilan yang dilakukan saat mau-mau saja tapi sudah menjadi profesi dan harus dijalani seumur hidup.
Efektifitas Model Dakwah Konstruksi
Tidak dapat dipungkiri bahwa dakwah konstruksi mempunyai efektifitas yang mendekati 100 persen bila dibandingkan dengan model dakwa selainnya. Dengan menggalakkan dakwah konstruksi, kita bukan saja berdakwah untuk ibadah dalam arti sempit, tapi lebih dari itu ibadah dalam pengertian yang lebih umum. Yakni ibadah memelihara dan membangun peradaban sehingga manusia-manusia yang hidup di dalamnya dapat merasakan kenyaman dalam memupuk keimanan dan ketakwaan.
Dakwah Konstruksi (Al Bina)
Reviewed by marbun
on
12:27 PM
Rating:
Post a Comment