Kesultanan Se-Sumatera Gugat Kerusakan Lingkungan
Rabu, 05 September 2007 23:53 WIB
Kesultanan Se-Sumatera Gugat Kerusakan Lingkungan
Medan, WASPADA Online
Para sultan se-Sumatera berkumpul di Istana Maimoon menggugat kerusakan lingkungan menyebabkan terjadi pemanasan global yang kini mengancam bangsa ini.
Selain itu, para sultan mendesak pemerintah SBY untuk mempertegas kembali peranan sultan dan keraton dahulunya sebagai penguat norma-norma dan budaya lokal yang telah hilang. Penegasan ini di antara beberapa item kesimpulan yang dibuahkan menjadi rekomendasi diserahkan kepada Kementerian LH.
Demikian hasil perbincangan para kesultanan yang dihimpun Waspada melalui Seminar Sehari tentang Peranan Kesultanan se-Sumatera Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan kerjasama antara Kementerian LH RI dengan Kesultanan Deli di Balairung Istana Maimoon Medan, Rabu (5/9).
Acara dibuka Sekretaris Menteri Negara LH Ir A. Riyono, MA. Sebagai pembicara Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Kementerian LH Dr Henry Bastaman, MES, Sultan Palembang Darussalam; Iskandar Mahmud Badaruddin, Prof Dr Ir H Hasnudin Miraza, MS mewakili Dr Wan Saefuddin, SE, MA (dekan FS USU), Dr Hermansyah, M.Si (Fakultas Ilmu Budaya, Lancang Kuning, Riau) dimoderatori kepala Balai Bahasa Medan.
Hadir antara lain Raja Muda Deli Tengku Hamdy Osman Delikhan, Kepala Urung Sepuluh Dua Kuta Datuk Adil Freddy Haberham, SE, Tengku Perdana Menteri Asahan Tengku Yose Rizal, SE, Soetan H Moehammad Taufiq Thaib, SH dari Kesultanan Pagaruyung, Sultan Kutai Kertanegara Ing Martadipura XX dari Keraton Kutai Kertanegara Ing Martadipura, Gusti Kanjeng Ratu Wandan Sari dari Keraton Surakarta Hadiningrat, Kepala Bapedalda Sumut Prof Syamsul Arifin mewakili gubernur, Ketua DPRD Sumut H. Abdul Wahab Dalimunthe, Kepala Dinas LH Medan Purnama Dewi Ketua MUI Medan Prof Dr HM Hatta, pengurus MABMI, kalangan kampus dan LSM. Mengangkat peranan kesultanan dalam pengelolaan lingkungan kerjasama dengan Kementerian LH ini sudah kali ketiga digelar. Meski demikian para kesultanan dan keraton menyatakan tetap optimis suara mereka didengar pemerintah.
Bahkan Tuanku Sultan Iskandar dari Kesultanan Palembang, dengan nada tinggi, menyerukan agar kesultanan se-Sumatera membuat deklarasi Istana Maimoon mengingat pemerintah masih mengabaikan peran kesultanan yang telah terbukti menerapkan norma mengatur interaksi masyarakat dan lingkungan. Justru kini kerusakan lingkungan semakin parah dan moral masyarakat semakin memprihatinkan. Seruan itu disambut dukungan dari peserta dan sejumlah kesultanan lain.
Peserta seminar dari kalangan sejarah dan kesultanan juga mendesak pemerintah meregulasi seluruh UU mengatur tentang air, kehutanan, agraria, pertambangan yang menjadi sumber konflik masyarakat berujung tidak arif lagi bersikap terhadap sumber daya alam (SDA).
Produk undang-undang itu juga menghilangkan peran kesultanan serta masyarakat adat terutama menyangkut tanah. Pemerintah antar departemen juga dinilai tidak sinkron menangani ketimpangan peraturan itu.
Pengaruh globalisasi
Menurut Sultan Palembang, pengaruh globalisasi zaman yang semakin tidak terbendung di mana adab, adat, etika semakin luntur membuat sikap masyarakat tidak lagi arif terhadap SDA. Merusak alam menjadi hal biasa padahal pada zaman kesultanan sampai muncul cerita dan mitos sebagai pesan dari ideologi tentang lingkungan hidup dan keseimbangan alam. Di Palembang pada tahun 1639-1650 lahir UU dikenal sebagai Piagam Ratu Sinuhun dinamakan UU Simbur Cahaya yang diberlakukan di daerah pedalaman dan satu hukum adat.
Jika terjadi perbuatan sumbang kasus terganggunya keseimbangan alam dan lingkungan hidup maka satu desa harus basuh dusun (pencucian desa) dengan sedekah dan persebahan hewan. Selain itu, pohon-pohon dilarang ditebang seperti kelutum, unglen, kulim dan tembesu kecuali izin penguasa.
Hermansyah pakar dari Riau juga mengetengahkan, peranan kesultanan di Riau lebih dahulu telah mengatur pengelolaan lingkungan secara baik seperti Kerajaan Riau Lingga (1858-1899).
Staf Ahli Menteri LH mengakui, peranan kesultanan dan keraton menjadi basis kearifan terhadap lingkungan yang telah rusak akibat pemanasan global yang bisa mengancam suhu panas bumi mencapai 43 derajat celcius di beberapa kota besar di Indonesia. Kearifan lingkungan harus menjadi sikap budaya, tentunya basisnya pada norma-norma yang mengakar pada simpul-simpul budaya dalam bentuk kesultanan dan keraton di tanah air seperti kesultanan deli ini.
"Pendekatan ini yang sedang dilakukan kementerian LH selain formalistik terkait penegakan hukum," katanya. Dia juga menyadari pentingnya regulasi produk undang-undang mengatur tentang SDA untuk mensinkronkan kepentingan negara dan masyarakat adat.
Kembali ke leluhur
Sultan Muda Deli usai acara mengatakan, untuk mengatasi kerusakan bumi akibat ulah manusia yang tidak menjalankan norma yang telah diatur sebelumnya pada kesultanan lalu harus dihidupkan kembali falsafah para leluhur khususnya raja-raja. Tapi ini memerlukan proses panjang. Jika tidak kita menunggu waktu kehancuran jagat raya ini.
Secara emperisme sejarah Indonesia menunjukkan Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki etika dan menghormati sesama karena prilaku berpatron pada nilai ajaran leluhur kesultanan dan keraton mendorong manusia bersikap toleran terhadap sesama dan arif terhadap lingkungan. Sultan Deli juga sepakat peranan kesultanan harus diikutsertakan dalam pembangunan ini.
Kesultanan Se-Sumatera Gugat Kerusakan Lingkungan
Reviewed by marbun
on
3:01 AM
Rating:
Post a Comment