Pesantren Bermuatan Lokal; Bahasa Mandarin dan Batak
KBAA -- Banyak pesantren saat ini, khususnya yang mengikuti kurikulum negeri, memarakkan penguasaan bahasa tambahan, seperti Mandarin dan Batak sebagai bekal santri santri saat dakwah usai mondok.
Kurikulum Bahasa Mandarin, Batak, Jawa dll sudah tersedia dari kementerian terkait. Bahkan Kemenag sudah menerbitkan Alquran versi bahasa daerah, di antaranya terdiri dari bahasa Batak.
Kemampuan bahasa-bahasa selain Indonesia, Arab dan Inggris, biasanya diasah dalam muhadhoroh yang diasuh konsulat.
Di Pesantren Musthafawiyah, misalnya, siswa dari daerah yang berbahasa Toba, saling adu kemampuan berpidato dalam bahasa Batak dala turnamen atau ajang yang diselenggarakan para santri dari daerah tersebut.
Sayangnya, kegiatan seperti ini hanya dilakukan secara ekstrakurikuler dan cenderung sporadik sehingga tidak berkesinambungan.
Padahal bila diasal dengan baik, bukan tak mungkin pesantren dapat menghasilkan lulusan dengan kemampuan bahasa yang berbeda-beda. (baca)
Seperti yang ditunjukkan santri dari Pesantren Almajidiyah, Madura yang berhasil juara pidato Bahasa Mandarin. (baca)
Kemenag juga dapat memberi ruang dengan kecerdasan santri dengan misalnya menambah lomba pidato atau ceramah bahasa Batak atau daerah lainnya dalam perlombaan yang sudah ada dan di event MTQ.
Sekain itu organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah atau Jamiyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) dapat ikut serta memotori sosialisasi penguasaan bahasa lokal, khususnya bagi santri yang mampu berbahasa lokal.
Ini akan memicu santri untuk semakin mencintai bahasa lokal mereka yang akan berguna untuk dakwah di kemudian hari.
Lihat: Yayasan Mahmun Syarif Marbun
Kurikulum Bahasa Mandarin, Batak, Jawa dll sudah tersedia dari kementerian terkait. Bahkan Kemenag sudah menerbitkan Alquran versi bahasa daerah, di antaranya terdiri dari bahasa Batak.
Kemampuan bahasa-bahasa selain Indonesia, Arab dan Inggris, biasanya diasah dalam muhadhoroh yang diasuh konsulat.
Cap Sisingamangaraja XII yang menggabungkan aksara Batak dan Arab Melayu |
Di Pesantren Musthafawiyah, misalnya, siswa dari daerah yang berbahasa Toba, saling adu kemampuan berpidato dalam bahasa Batak dala turnamen atau ajang yang diselenggarakan para santri dari daerah tersebut.
Sayangnya, kegiatan seperti ini hanya dilakukan secara ekstrakurikuler dan cenderung sporadik sehingga tidak berkesinambungan.
Padahal bila diasal dengan baik, bukan tak mungkin pesantren dapat menghasilkan lulusan dengan kemampuan bahasa yang berbeda-beda. (baca)
Seperti yang ditunjukkan santri dari Pesantren Almajidiyah, Madura yang berhasil juara pidato Bahasa Mandarin. (baca)
Kemenag juga dapat memberi ruang dengan kecerdasan santri dengan misalnya menambah lomba pidato atau ceramah bahasa Batak atau daerah lainnya dalam perlombaan yang sudah ada dan di event MTQ.
Sekain itu organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah atau Jamiyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) dapat ikut serta memotori sosialisasi penguasaan bahasa lokal, khususnya bagi santri yang mampu berbahasa lokal.
Ini akan memicu santri untuk semakin mencintai bahasa lokal mereka yang akan berguna untuk dakwah di kemudian hari.
Lihat: Yayasan Mahmun Syarif Marbun
Pesantren Bermuatan Lokal; Bahasa Mandarin dan Batak
Reviewed by Admin2
on
12:53 AM
Rating:
Post a Comment