Sosok Purnawirawan Kombespol yang Mendirikan Pesantren
KBAA -- SOSOK garang Sudaryanto tak ada lagi. Padahal, dia bertugas cukup lama di kepolisian, yaitu 30 tahun. Sebanyak 14 tahun di antaranya dihabiskan di bagian reserse kriminal. Bagian nangkepi penjahat.
Kini, pada usianya yang nyaris 60 tahun, geraknya cenderung santai. Tuturnya lembut. Meski begitu, masih terasa gairah dan aktivitas pada diri pensiunan komisaris besar (Kombes) polisi tersebut.
Siang itu (3/7), Sudaryanto tak segan mengajar santrinya di pesantren. Pondok Pesantren (Ponpes) Bismar Al Mustaqim tersebut didirikan purnawirawan tiga melati tersebut bersama dua temannya, Siswanto dan Suprianto. Di situ, 125 anak yatim piatu menimba ilmu.
Pertemuan ketiganya pun bisa dibilang kebetulan. Mereka tidak bertetangga, tapi mengaji di tempat yang sama. Satu majelis ta’lim. ’’Dulu, meski pindah-pindah, sering ketemu. Akhirnya berteman baik,” ujar Sudaryanto, diamini dua teman karibnya itu.
Nah, karena sering bertemu, mereka jadi punya semacam ikatan batin. Klop. Di sela-sela membicarakan rencana dan kesuksesan hidup, tercetus ide untuk menciptakan sesuatu yang lebih berguna. Terutama bagi masyarakat kecil. Sekitar tiga tahun yang lalu, mereka pun sepakat untuk mendirikan ponpes.
Padahal, ketiganya tak punya latar belakang ponpes yang kuat. Hanya Sudaryanto yang pernah mondok. Tepatnya di salah satu ponpes di Pabelan, Magelang. Asuhan alumnus Gontor, KH Hamam Ja’far. Itu pun tak lama. Hanya beberapa bulan.
Setelah berdinas di kepolisian, Sudaryanto jauh dari dunia pesantren. Dia makin jarang membuka kitab suci. Polisi yang mengawali karir kepolisian di Satuan Brimob Polda Jatim tersebut lebih banyak hidup di markas.
Lalu, mengapa pondok pesantren? Keinginan itu berawal dari keprihatinan. Ketiganya sedih melihat sejumlah anak yatim piatu yang putus sekolah. Bahkan, tak jarang mereka ditelantarkan. Akhirnya, tercetus ide untuk membuat wadah guna menampung anak-anak tersebut. ’’Kami nggak bikin panti asuhan karena kesan di masyarakat masih kurang bagus,” timpal Suprianto.
Syahdan, ponpes akhirnya berdiri. Tepat pada 17 Ramadan tiga tahun yang lalu. Ponpes itu menampung anak-anak yatim piatu. Ada 25 anak yang menetap. Sementara itu, ada seratus anak yang berasal dari sekitar pondok. Sampai sekarang.
Di antara para santri, ada pula anggota kepolisian. Tercatat, ada tiga polisi yang aktif mengaji di ponpes tersebut. Memang tidak setiap hari, hanya pada malam Minggu dan malam Rabu.
Aktivitas wajibnya adalah mengaji. Selain itu, mereka harus mengenyam pendidikan formal di luar pesantren. Semuanya gratis. Ditanggung pesantren. Termasuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ’’Langsung saja kami eksekusi. Nekat saja awalnya,” kenang Siswanto.
Awalnya, pendanaannya cukup berat. Sebagian besar berasal dari keuntungan perusahaan milik Siswanto, Indobismar Group. Perusahaan itu bergerak di bidang jual-beli komputer dan telepon genggam.
Perusahaannya tidak besar. Namun, cabang tokonya ada di hampir tiap kota di Jatim dan Jateng. Nama perusahaan milik Siswanto tersebut akhirnya dijadikan bagian nama pesantren. ’’Selain itu, kami juga urunan dan cari donatur,” lanjut pria asli Banyuwangi itu.
Sampai saat ini, banyak donatur tetap yang aktif. Donatur yang tidak tetap juga silih berganti. Termasuk dari kawan sejawat Sudaryanto di kepolisian.
Karena pendanaannya lancar, pesantren pun berkembang pesat. Sekarang, mereka punya dua bangunan utama. Dua-duanya adalah bekas rumah warga. Disulap jadi tempat belajar-mengajar bagi santri. Rumah pertama terletak di Jalan Nginden Baru VIII Blok B-19. ’’Setelah beli bekas rumah warga, kami wakafkan ke yayasan,” terang Suprianto.
Satu lagi berada di seberang bangunan pertama, yaitu di blok A-18. Bangunan tersebut lebih besar. Dibeli dari warga setahun setelah pesantren berdiri. Namun, sama-sama terletak di pojokan. Di ujung gang. Ke depan, mereka berencana menambah lahan. Luasnya 1 hingga 10 hektare. ’’Kami sudah siapkan lahan di dekat Surabaya, mohon doanya,” tutur Suprianto yang masih malu-malu menyebutkan lokasi pastinya.
Selain lahan, ’’akreditasi’’ akan ditingkatkan. Cita-cita ketiganya adalah memiliki ponpes yang lebih modern. Ada sekolah formalnya. Terintegrasi. Tentu tanpa dipungut biaya. ’’Kami tambah lagi nilainya. Santri juga harus punya jiwa wirausaha,” beber bapak dua anak tersebut.
Di salah satu sudut bangunan pesantren itu pun didirikan sebuah toko penjualan telepon genggam dan pulsa untuk dikelola santri. Pelanggannya sudah banyak, terutama warga sekitar. Keuntungannya dibagikan kepada santri pengurus setiap akhir tahun.
Jadi, santri tak hanya pintar mengaji, tapi juga pintar berjualan. Tujuannya, mereka bisa mandiri secara ekonomi. Saat menyebarkan syiar Islam, mereka tidak akan merepotkan orang lain. ’’Jadi, ekonominya ada dulu, baru syiar. Ke depan, lebih bermartabat,’’ ucap pria asli Nganjuk tersebut.
Selain itu, mereka dijauhkan dari ajaran radikal. Mereka dibimbing untuk menjadi muslim yang lebih toleran. Tidak memaksakan kehendak. Meski belum ada santri yang benar-benar menonjol prestasi individunya, secara kelembagaan, pesantren yang baru berumur empat tahun itu tak bisa dipandang sebelah mata.
Tahun ini, mereka menyabet penghargaan dari Dinas Sosial Jatim. Yakni, sebagai organisasi sosial non pemerintahan berprestasi. ’’Tahun ini juara 2, tahun lalu masuk tiga besar,” ungkap Sudaryanto, bangga.
Meski begitu, Sudaryanto menyadari bahwa pihaknya belum bisa memberikan pelayanan maksimal. Masih banyak anak didik yang keluar-masuk. Alasannya sepele. Orang tua murid tidak tega. ’’Orang tua sendirian di rumah, banyak yang nggak tega. Jadi, anaknya disuruh pulang,” ungkap pria yang terakhir bertugas di Bidang Hukum Polda Jatim April lalu tersebut.
Karena itu, kebiasaan tersebut menjadi PR tersendiri bagi pihaknya. Meyakinkan para orang tua agar lebih percaya pada pesantrennya. ’’Sambil terus menjaring santri yatim piatu dan duafa. Dan yang terpenting, membuat orang tuanya percaya,” tandas kakek empat cucu itu. (sumber)
Lihat: Yayasan Mahmun Syarif Marbun
Kini, pada usianya yang nyaris 60 tahun, geraknya cenderung santai. Tuturnya lembut. Meski begitu, masih terasa gairah dan aktivitas pada diri pensiunan komisaris besar (Kombes) polisi tersebut.
Siang itu (3/7), Sudaryanto tak segan mengajar santrinya di pesantren. Pondok Pesantren (Ponpes) Bismar Al Mustaqim tersebut didirikan purnawirawan tiga melati tersebut bersama dua temannya, Siswanto dan Suprianto. Di situ, 125 anak yatim piatu menimba ilmu.
Pertemuan ketiganya pun bisa dibilang kebetulan. Mereka tidak bertetangga, tapi mengaji di tempat yang sama. Satu majelis ta’lim. ’’Dulu, meski pindah-pindah, sering ketemu. Akhirnya berteman baik,” ujar Sudaryanto, diamini dua teman karibnya itu.
Nah, karena sering bertemu, mereka jadi punya semacam ikatan batin. Klop. Di sela-sela membicarakan rencana dan kesuksesan hidup, tercetus ide untuk menciptakan sesuatu yang lebih berguna. Terutama bagi masyarakat kecil. Sekitar tiga tahun yang lalu, mereka pun sepakat untuk mendirikan ponpes.
Padahal, ketiganya tak punya latar belakang ponpes yang kuat. Hanya Sudaryanto yang pernah mondok. Tepatnya di salah satu ponpes di Pabelan, Magelang. Asuhan alumnus Gontor, KH Hamam Ja’far. Itu pun tak lama. Hanya beberapa bulan.
Setelah berdinas di kepolisian, Sudaryanto jauh dari dunia pesantren. Dia makin jarang membuka kitab suci. Polisi yang mengawali karir kepolisian di Satuan Brimob Polda Jatim tersebut lebih banyak hidup di markas.
Lalu, mengapa pondok pesantren? Keinginan itu berawal dari keprihatinan. Ketiganya sedih melihat sejumlah anak yatim piatu yang putus sekolah. Bahkan, tak jarang mereka ditelantarkan. Akhirnya, tercetus ide untuk membuat wadah guna menampung anak-anak tersebut. ’’Kami nggak bikin panti asuhan karena kesan di masyarakat masih kurang bagus,” timpal Suprianto.
Syahdan, ponpes akhirnya berdiri. Tepat pada 17 Ramadan tiga tahun yang lalu. Ponpes itu menampung anak-anak yatim piatu. Ada 25 anak yang menetap. Sementara itu, ada seratus anak yang berasal dari sekitar pondok. Sampai sekarang.
Di antara para santri, ada pula anggota kepolisian. Tercatat, ada tiga polisi yang aktif mengaji di ponpes tersebut. Memang tidak setiap hari, hanya pada malam Minggu dan malam Rabu.
Aktivitas wajibnya adalah mengaji. Selain itu, mereka harus mengenyam pendidikan formal di luar pesantren. Semuanya gratis. Ditanggung pesantren. Termasuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ’’Langsung saja kami eksekusi. Nekat saja awalnya,” kenang Siswanto.
Awalnya, pendanaannya cukup berat. Sebagian besar berasal dari keuntungan perusahaan milik Siswanto, Indobismar Group. Perusahaan itu bergerak di bidang jual-beli komputer dan telepon genggam.
Perusahaannya tidak besar. Namun, cabang tokonya ada di hampir tiap kota di Jatim dan Jateng. Nama perusahaan milik Siswanto tersebut akhirnya dijadikan bagian nama pesantren. ’’Selain itu, kami juga urunan dan cari donatur,” lanjut pria asli Banyuwangi itu.
Sampai saat ini, banyak donatur tetap yang aktif. Donatur yang tidak tetap juga silih berganti. Termasuk dari kawan sejawat Sudaryanto di kepolisian.
Karena pendanaannya lancar, pesantren pun berkembang pesat. Sekarang, mereka punya dua bangunan utama. Dua-duanya adalah bekas rumah warga. Disulap jadi tempat belajar-mengajar bagi santri. Rumah pertama terletak di Jalan Nginden Baru VIII Blok B-19. ’’Setelah beli bekas rumah warga, kami wakafkan ke yayasan,” terang Suprianto.
Satu lagi berada di seberang bangunan pertama, yaitu di blok A-18. Bangunan tersebut lebih besar. Dibeli dari warga setahun setelah pesantren berdiri. Namun, sama-sama terletak di pojokan. Di ujung gang. Ke depan, mereka berencana menambah lahan. Luasnya 1 hingga 10 hektare. ’’Kami sudah siapkan lahan di dekat Surabaya, mohon doanya,” tutur Suprianto yang masih malu-malu menyebutkan lokasi pastinya.
Selain lahan, ’’akreditasi’’ akan ditingkatkan. Cita-cita ketiganya adalah memiliki ponpes yang lebih modern. Ada sekolah formalnya. Terintegrasi. Tentu tanpa dipungut biaya. ’’Kami tambah lagi nilainya. Santri juga harus punya jiwa wirausaha,” beber bapak dua anak tersebut.
Di salah satu sudut bangunan pesantren itu pun didirikan sebuah toko penjualan telepon genggam dan pulsa untuk dikelola santri. Pelanggannya sudah banyak, terutama warga sekitar. Keuntungannya dibagikan kepada santri pengurus setiap akhir tahun.
Jadi, santri tak hanya pintar mengaji, tapi juga pintar berjualan. Tujuannya, mereka bisa mandiri secara ekonomi. Saat menyebarkan syiar Islam, mereka tidak akan merepotkan orang lain. ’’Jadi, ekonominya ada dulu, baru syiar. Ke depan, lebih bermartabat,’’ ucap pria asli Nganjuk tersebut.
Selain itu, mereka dijauhkan dari ajaran radikal. Mereka dibimbing untuk menjadi muslim yang lebih toleran. Tidak memaksakan kehendak. Meski belum ada santri yang benar-benar menonjol prestasi individunya, secara kelembagaan, pesantren yang baru berumur empat tahun itu tak bisa dipandang sebelah mata.
Tahun ini, mereka menyabet penghargaan dari Dinas Sosial Jatim. Yakni, sebagai organisasi sosial non pemerintahan berprestasi. ’’Tahun ini juara 2, tahun lalu masuk tiga besar,” ungkap Sudaryanto, bangga.
Meski begitu, Sudaryanto menyadari bahwa pihaknya belum bisa memberikan pelayanan maksimal. Masih banyak anak didik yang keluar-masuk. Alasannya sepele. Orang tua murid tidak tega. ’’Orang tua sendirian di rumah, banyak yang nggak tega. Jadi, anaknya disuruh pulang,” ungkap pria yang terakhir bertugas di Bidang Hukum Polda Jatim April lalu tersebut.
Karena itu, kebiasaan tersebut menjadi PR tersendiri bagi pihaknya. Meyakinkan para orang tua agar lebih percaya pada pesantrennya. ’’Sambil terus menjaring santri yatim piatu dan duafa. Dan yang terpenting, membuat orang tuanya percaya,” tandas kakek empat cucu itu. (sumber)
Lihat: Yayasan Mahmun Syarif Marbun
Sosok Purnawirawan Kombespol yang Mendirikan Pesantren
Reviewed by Admin2
on
2:49 AM
Rating:
Post a Comment